Terapi Hemodialisis (HD) Tetap Aman Di Tengah Pandemi Covid-19
Hemodialisa atau Hemodialisis (HD) merupakan terapi cuci darah di luar tubuh. Terapi ini umumnya dilakukan oleh penderita penyakit ginjal kronis atau
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Hemodialisa atau Hemodialisis (HD) merupakan terapi cuci darah di luar tubuh. Terapi ini umumnya dilakukan oleh penderita penyakit ginjal kronis atau masalah pada organ ginjal sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan optimal.
Pada dasarnya, tubuh manusia memang mampu mencuci darah secara otomatis, tapi bila terjadi masalah pada ginjal, kondisinya akan lain lagi.
Dr. Andri Budiman, SpPD sebagai dokter penanggung pelayanan Hemodialisis di Siloam Hospitals Jambi menjelaskan, secara umum Hemodialisis ada yang sifatnya akut harus segera dilaksanakan cuci darah dalam waktu 24 jam. Misalkan pasien keracunan obat atau terkena gigitan hewan berbisa. Pasien cuci darah yang bersifat akut hanya sementara melakukan terapi cuci darah.

Selanjutnya ada Hemodialisis yang sifatnya kronis. Hemodialisis bersifat kronis karena memiliki penyakit tertentu yang mengakibatkan komplikasi ( penyulit) ke ginjal sehingga dengan adanya penyakit kronis lama kelamaan ginjal menjadi rusak. Hal tersebut menyebabkan ginjal tidak dapat mengeluarkan racun dari dalam tubuh dan air yang menumpuk dalam kurun waktu lama.
"Hemodialisis pada gangguan ginjal yang akut harus dilakukan segera dalam hitungan jam (< 24 jam) dalam hal ini mesin hemodialisis berfungsi mensupport, yaitu untuk sementara menggantikan fungsi ginjal yang kehilangan kemampuannya karena racun atau hal-hal lainnya sampai dengan penyakit utamanya bisa segera diatasi, sedangkan pada Gangguan Ginjal yg kronis / menahun, artinya ginjal sudah tidak bisa lagi berfungsi sehingga mesin menggantikan (replacement) fungsi ginjal," jelasnya.

Biasanya, orang yang membutuhkan hemodialisis mengeluhkan sesak nafas karena kelebihan cairan dalam tubuh dan tidak bisa memproduksi urine, sehingga menganggu kerja jantung dan paru-paru. Terdapat juga kondisi di mana sesak nafas pada pasien dengan gangguan ginjal timbul karena pH dalam darah terlalu asam sehingga mengganggu pernafasan.
Terapi hemodialisis juga harus dilakukan jika kandungan racun (terutama ureum) dalam tubuh pasien terlalu tinggi atau terdapat gangguan elektrolit yaitu kandungan kalium dalam darah yang terlalu tinggi sehingga dapat menganggu irama jantung.
Orang-orang yang menderita penyakit diabetes, hipertensi, gangguan ginjal karena penyakit autoimun, kista ginjal, kebiasaan mengkonsumsi minuman keras, dan semua orang yang terkena penyakit kronis lainnya merupakan kelompok orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah, apalagi jika tidak dikontrol dengan baik sehingga memiliki resiko komplikasi pada ginjal.
Bagaimana pasien hemodialisis di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini ?
Menurut Dr. Asianto Supargo, SpKJ DHSM, ketua PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Daerah Jambi, dan Surveior KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) terapi hemodialisis saat Covid-19 seperti ini aman, asal dilaksanakan sesuai dengan protokol dan buku pedoman yang telah diterbitkan oleh ( Pernefri )Perhimpunan Nefrologi Indonesia yang telah diterbitkan pada tanggal 20 April 2020.

"Saya kira pihak rumah sakit, terutama yang paling penting rumah sakit rujukan yang telah ditunjuk oleh pemerintah Provinsi maupun Kota Jambi, Siloam Hospitals Jambi dan RSUD Raden Mattaher mestinya sudah dilaksanakan sesuai dengan panduan," kata dr. Asianto.
Dia mengatakan dalam panduan tersebut terdapat panduan baik untuk pasien, keluarga pasien atau yang mengantarkan pasien kemudian panduan-panduan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan serta unit Dialisis sendiri.
"Di masa Covid-19 ini, yang penting Hemodialisis ini memiliki unit sendiri dan memiliki ruang khusus atau ruang isolasi terpisah untuk pasien yang positif terjangkit Covid-19, ruang isolasi ini harus bertekanan negatif atau airborne, ruangan yang tersedia hanya dipakai khusus untuk pasien Covid-19, kemudian terapi hemodialisis untuk pasien Covid-19 dijadwalkan khusus di luar jadwal dari pasien hemodialisis yang biasa," tegasnya.
Selain ruangan tersendiri dan jadwal khusus, dr. Asianto juga mengatakan sebaiknya rumah sakit memiliki tim sendiri/tim khusus untuk pasien Covid-19 yang akan melakukan terapi hemodialisis dengan APD lengkap.
"Tim khusus yang akan melayani ruangan isolasi airborne kalo bisa jangan berganti-ganti petugas nya. Sedangkan petugas untuk pasien biasa tetap juga menggunakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19, yang paling penting pasien dengan Covid-19 harus dilayani terpisah dengan tim khusus tersendiri ," ujarnya.