Perbudakan ABK WNI di Kapal China Ingatkan Kembali Kasus Benjina di Era Menteri Susi
Saat ini publik sedang dihebohkan dengan praktik ekspolitasi ABK asal Indonesia di kapal ikan China, Long Xing.
Praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting.
Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi.
Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku.
Praktik semacam ini tak mudah diberantas karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.
Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan.
• Kronologi ABK Indonesia Meninggal Dunia di Kapal Long Xing 629, Kemenlu Akan Panggil Dubes China
• Ferdian Paleka Masuk Dalam DPO, Polisi Sebut Orang Tuanya Ikut Sembunyikan Ferdian
Harian Kompas 7 Mei 2015, melaporkan adanya oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar.
Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000.
Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta. Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul ”Captain will fish in Indonesia waters”.
Dalam berita itu, Khomsan—operator kapal penangkap ikan Thailand yang pernah beroperasi selama 10 tahun di Indonesia—mengaku memberikan suap kepada oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI yang dia sebut sebagai biaya konsesi agar kapal yang disita oleh aparat Indonesia dikembalikan.
Besaran nilai suapnya 10 juta-20 juta baht (setara dengan Rp 4,0 miliar-Rp 8,0 miliar).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu, Asep Burhanudin mengungkapkan, hasil investigasi ke Benjina, di Kepulauan Aru, tanggal 2-7 April 2015, menunjukkan modus utama indikasi perbudakan.
Indikasi perbudakan nelayan itu mencakup perekrutan anak buah kapal dengan iming-iming gaji sepadan, pekerja di bawah umur, dan pemalsuan dokumen identitas.
Para ABK juga diduga kuat mengalami diskriminasi upah. Dicontohkan, upah ABK non- Thailand senilai Rp 1 juta per bulan, ABK Indonesia Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ABK Thailand Rp 3 juta per bulan.
Perlakuan diskriminasi upah tidak hanya berlangsung di Benjina, tetapi juga di beberapa perusahaan perikanan lain.
Di Pulau Panambulai, Kepulauan Aru, PT Arabika juga disinyalir memberikan upah ABK Indonesia Rp 2 juta per bulan, sedangkan ABK Tiongkok Rp 14 juta per bulan.
Sumber : kompas.com