Perbudakan ABK WNI di Kapal China Ingatkan Kembali Kasus Benjina di Era Menteri Susi

Saat ini publik sedang dihebohkan dengan praktik ekspolitasi ABK asal Indonesia di kapal ikan China, Long Xing.

Editor: Deni Satria Budi
(Kompas/BM Lukita Grahadyarini)
Sejumlah 242 anak buah kapal (ABK) asal Myanmar dan Kamboja di PT Pusaka Benjina Resources, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, diangkut dengan kapal feri ke Tual, Maluku, untuk proses pemulangan ke negara asal, Selasa (19/5). Sementara itu, sebanyak 42 ABK asal Thailand yang lanjut usia, di bawah umur dan sakit juga dibawa ke Tual untuk menjalani perawatan. Perusahaan perikanan itu ditenggarai melakukan praktik perdagangan orang. 

TRIBUNJAMBI.COM JAKARTA - Saat ini publik sedang dihebohkan dengan praktik ekspolitasi ABK asal Indonesia di kapal ikan China, Long Xing.

Salah satu stasiun televisi di Korea Selatan, MBC, melaporkan keberadaan WNI dengan kondisi kerja yang memprihatinkan dan menyebutnya sebagai perbudakan.

Dalam cuplikan video pemberitaan MBC, WNI yang bekerja di kapal tersebut harus bekerja hingga 30 jam dengan istirahat minim, mendapat diskriminasi, gaji yang tak sesuai dengan kontrak kerja, hingga jenazah hanya dilarung ke laut jika ada ABK yang meninggal.

Kasus ekspoitasi ABK Indonesia di kapal China ini mengingatkan kembali pada kasus perbudakan manusia di Benjina, Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Kasus Benjina bahkan jadi perhatian dunia terjadi di era Menteri KKP, Susi Pudjiastuti. Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, para ABK bekerja 20-22 jam per hari, dikurung, disiksa, dan tidak mendapatkan upah.

Produk perikanan hasil tangkapan di Benjina dikirim ke Thailand dan langsung diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Video Viral Jenazah ABK Indonesia Dibuang ke Laut dari Kapal China Kapten Kapal Sebut Itu Dilarung

Upacara Kematian Mas Ari ABK Kapal China yang Mayatnya Dibuang ke Laut, Isi Surat Dibeber Hansol

ABK dalam kasus Benjina berasal dari Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia. Kasus ini melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR), sebuah perusahaan PMA asal Thaialand.

PT PBR belakangan berhenti beroperasi menyusul moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri serta keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mencabut surat izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan, dan surat izin kapal pengangkut ikan milik perusahaan.

Perusahaan sudah berdiri sejak tahun 2007 itu tersandung kasus dugaan perdagangan manusia dan dugaan praktik penangkapan ikan ilegal.

Kasus ini mencuat setelah kantor berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan yang dipaksa menangkap ikan oleh PT PBR.

Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China. ()
Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China. () (Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC)

1.049 Narapidana Beragama Buddha di Seluruh Indonesia Terima Remisi, Khusus Perayaan Hari Waisak

Tiga Kali Dipenjara, Residivis Ini Kembali Berulah Gelapkan Motor Temannya di Kota Jambi

Berita perbudakan tersebut juga ditayangkan dalam bentuk laporan langsung di Channel 3 TV di Thailand tentang para korban perbudakan nelayan Thailand yang berhasil melarikan diri dari Benjina.

Perbudakan tidak hanya terjadi di Benjina. Dari investigasi di kawasan sekitar Kepulauan Aru, ditemukan juga dugaan praktik perbudakan terhadap nelayan oleh pemilik kapal-kapal asing yang terjadi di Wanam, Kaimana Panambulai, dan Avona.

Aktivitas perbudakan ini terjadi di beberapa pelabuhan yang jarang dilalui kapal biasa dan kapal pengawas.

Nelayan yang bekerja di Benjina 1.185 orang, sementara berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 4.000 nelayan yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina.

Praktik suap di Indonesia

Praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting.

Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi.

Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku.

Praktik semacam ini tak mudah diberantas karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan.

Kronologi ABK Indonesia Meninggal Dunia di Kapal Long Xing 629, Kemenlu Akan Panggil Dubes China

Ferdian Paleka Masuk Dalam DPO, Polisi Sebut Orang Tuanya Ikut Sembunyikan Ferdian

Harian Kompas 7 Mei 2015, melaporkan adanya oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar.

Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000.

Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta. Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul ”Captain will fish in Indonesia waters”.

Dalam berita itu, Khomsan—operator kapal penangkap ikan Thailand yang pernah beroperasi selama 10 tahun di Indonesia—mengaku memberikan suap kepada oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI yang dia sebut sebagai biaya konsesi agar kapal yang disita oleh aparat Indonesia dikembalikan.

Besaran nilai suapnya 10 juta-20 juta baht (setara dengan Rp 4,0 miliar-Rp 8,0 miliar).

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu, Asep Burhanudin mengungkapkan, hasil investigasi ke Benjina, di Kepulauan Aru, tanggal 2-7 April 2015, menunjukkan modus utama indikasi perbudakan.

Indikasi perbudakan nelayan itu mencakup perekrutan anak buah kapal dengan iming-iming gaji sepadan, pekerja di bawah umur, dan pemalsuan dokumen identitas.

Para ABK juga diduga kuat mengalami diskriminasi upah. Dicontohkan, upah ABK non- Thailand senilai Rp 1 juta per bulan, ABK Indonesia Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ABK Thailand Rp 3 juta per bulan.

Perlakuan diskriminasi upah tidak hanya berlangsung di Benjina, tetapi juga di beberapa perusahaan perikanan lain.

Di Pulau Panambulai, Kepulauan Aru, PT Arabika juga disinyalir memberikan upah ABK Indonesia Rp 2 juta per bulan, sedangkan ABK Tiongkok Rp 14 juta per bulan.

Sumber : kompas.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved