MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Bagaimana Nasib Kelebihan Iuran Masyarakat?
Mahkamah Agung membatalkan Perpres yang mengatur kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung membatalkan Perpres yang mengatur kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
Meskipun demikian pihak BPJS Kesehatan masih tetap mengenakan kenaikan tarif iuran sebesar 100 persen kepada peserta.
BPJS Kesehatan berjanji mengembalikan kelebihan iuran masyarakat menyusul dibatalkannya peraturan presiden tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung (MA).
• Cuma Makan, Tidur dan Main HP, Dua Pasien Positif Corona Dipulangkan ke Rumah, Ini Alasan Dokter
Rencananya, kelebihan iuran itu dijadikan pembayaran iuran bulan selanjutnya.
Hal ini disampaikan Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf saat dikonfirmasi Tribun, Jumat (3/4/2020).
• Video UFO Dirilis Pentagon, Begini Penampakannya
Iqbal membenarkan pihaknya tetap mengenakan iuran BPJS dengan kenaikan 100 persen untuk Maret dan April 2020 ke masyarakat setelah MA membatalkan perpres yang mengatur hal itu.
Ia meminta masyarakat tidak perlu khawatir karena BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri.
BPJS Kesehatan akan mengembalikan kelebihan iuran tersebut setelah presiden menerbitkan perpres pengganti atau yang baru.
"Dan akan dikembalikan segera setelah ada aturan baru tersebut atau disesuaikan dengan arahan dari pemerintah," kata Iqbal.
Meski begitu, BPJS masih akan mempertimbangkan teknis pengembalian dana tersebut.
Dan saat ini, BPJS Kesehatan merencanakan menjadikan kelebihan iuran itu sebagai sebagai iuran bulan selanjutnya setelah perpres baru diterbitkan.
"Teknis pengembaliannya akan diatur lebih lanjut, antara lain kelebihan iuran tersebut akan menjadi iuran pada bulan berikutnya untuk peserta," kata dia.
MA mengabulkan gugatan terhadap Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan sejak 9 Maret 2020. Dari gugatan itu diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) itu, MA membatalkan besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan per 1 Januari 2020 lalu.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibatalkan adalah Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, Kelas II dari Rp 55.000 menjadi Rp 110.000 dan Kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Rata-rata naik 100 persen.
Meski hampir sebulan putusan itu diketok, BPJS Kesehatan masih mengenakan iuran dengan 100 persen kepada masyarakat.
Iqbal memastikan BPJS Kesehatan akan mematuhi putusan MA yang telah membatalkan kenaikan iuran tersebut.
BPJS Kesehatan juga telah bersurat ke Sekretaris Negara untuk menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan selanjutnya dalam mengeksekusi putusan tersebut.
Dan saat ini pemerintah dan kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM, tengah menindaklanjuti putusan MA tersebut, di antaranya dengan menyusun perpres pengganti.
"Saat ini pemerintah dan kementerian terkait dalam proses menindaklanjuti Putusan MA tersebut dan sedang disusun Perpres pengganti," ujarnya.
Ia menjelaskan, MA memberikan kesempatan 90 hari ke pemerintah selaku Tergugat untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materi.
Rakyat Bertanya-tanya
Belum diturunkannya iuran BPJS Kesehatan pasca-putusan MA disuarakan sejumlah warga hingga menjadi bahan perbincangan di media sosial. Pihak DPR RI juga menyoroti masalah ini.
Sejumlah warga mengeluhkan iuran BPJS Kesehatan pada April 2020 yang tidak kunjung turun.
Agustias (28) yang merupakan karyawan swasta di Jakarta, mengaku menjadi peserta kelas I BPJS Kesehatan secara mandiri sejak tiga tahun lalu.
Ia sangat kecewa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tidak gerak cepat menjalani putusan MA di tengah kesulitan ekonomi warga yang terdampak pandemi virus corona (Covid-19).
"Harusnya April ini bayarnya sesuai aturan yang lama, tapi iuran saya masih Rp 160 ribu. Pak Jokowi, harusnya taat hukum, patuhi putusan MA," ujar Agustias.
Hal sama dialami Foly Akbar (29), peserta BPJS Kesehatan Kelas III.
Sebelumnya, ia sudah harus membayar sekitar Rp 255.000 per bulan untuk iuran diri sendiri dan sembilan orang anggota keluarganya.
Dan pada April ini, dia harus rela merogoh kocek hingga Rp 420.000.
"Saya heran, apa dasar BPJS menetapkan harga itu? Perpres kenaikan sudah dibatalkan MA, harusnya otomatis kembali ke harga yang lama," ujar Foly salah satu karyawan di perusahaan bidang jasa di Jakarta.
Foly mengaku sampai menghubungi pihak BPJS Kesehatan untuk mendapatkan penjelasan masalah ini. Namun, pihak BPJS Kesehatan beralasan belum menerima salinan putusan dari MA.
"Mengapa mereka tidak bergerak cepat meminta salinan ke MA? Atau sengaja masih mau menghisap uang masyarakat. Uang Rp 42 ribu mungkin dianggap kecil, tapi saya menanggung dua keluarga," keluhnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena meminta BPJS Kesehatan dan pemerintah memperhatikan kesulitan masyarakat di tengah dampak pandemi virus corona saat ini.
Ia mendesak Presiden Jokowi, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan dan kementerian terkait segera berkoordinasi guna merealisasikan putusan MA.
"Kami meminta agar pemerintah melalui Kemenkes dan BPJS segera berkoordinasi agar putusan ini segara dilaksanakan sehingga masyarakat tidak lagi bertanya tanya, ‘Kok sudah ada putusan hukum, tapi kok belum dilaksanakan," kata Melki.
Politikus Partai Golkar itu meminta pemerintah tidak lagi beralasan belum menerima salinan putusan MA tersebut.
"Semalam juga ada teman kami Pak Saleh Daulay (anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN) sudah menyampaikan dia sudah memiliki salinan putusan MA ini. Artinya, kalau begitu pemerintah juga sudah memiliki," ujarnya.
Lebih lanjut, anggota DPR Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) ini mengatakan akan segera menggelar rapat dengan Kemenkes dan pihak BPJS Kesehatan.
Ia berharap agar iuran BPJS dapat segera kembali turun untuk mengurangi beban masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
"Kami akan mengatur jadwal tersendiri seizin ketua atau pimpinan DPR RI untuk membahas ini dengan Kemenkes dan BPJS Kesehatan untuk mulai bisa lebih konkret melaksanakan putusan MA ini. Bagaimana pun urusan iuran BPJS Kesehatan terkait dengan penanganan Covid-19 ini," ujarnya.
Saleh Daulay membenarkan dirinya memperoleh salinan putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Itu bisa didapatnya karena dirinya selaku pengawas pemerintah pro aktrif meminta ke pihak MA.
Seharusnya, BPJS Kesehatan dan pemerintah selaku Tergugat juga melakukan hal yang sama, bukan menunggu salinan putusan datang.
Ia mengatakan, di tengah kondisi pandemi corona saat ini hingga berdampak warga kehilangan pekerjaan, seharusnya iuran BPJS Kesehatan dapat langsung dikembalikan seperti iuran semula pasca-adanya putusan MA tersebut.
"Jadi, jangan sampai BPJS Kesehatan menunda eksekusi putusan MA dengan alasan yang seakan dibuat-buat," papar Saleh.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI) Sudaryatmo menilai pemerintah tidak dapat disalahkan jika belum menurunkan besaran iuran BPJS Kesehatan.
Sebab, pemerintah harus membuat perpres berisi pencabutan perpres sebelumnya dan menerbiatkan perpres pengganti, sebagaimana putusan MA.
"Setelah sudah ada perpres yang isinya mencabut Perpres kenaikan iuran, BPJS baru menyesuaikan tarif iurannya ke tarif yang lama," ujarnya.
Sebelumnnya, pemerintah melalui BPJS Kesehatan menaikkan besaran iuran ke masyarakat hingga 100 persen menyusul defisit anggaran hingga triliunan rupiah setiap bulan di tubuh BPJS Kesehatan untuk pembayaran pasien.
Waspada
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengingatkan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berisiko tinggi bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak pasien BPJS Kesehatan.
"Kalau yang direduksi hanya servis nonmedis masih lebih baik, tetapi jika yang direduksi servis medisnya, ini yang membahayakan pasien," ucapnya.
Ia khawatir kekurangan anggaran di tubuh BPJS hingga lambatnya pembayaran klaim dari rumah sakit akan berdampak terhadap keamanan kesehatan dan pelayanan terhadap pasien, di antaranya peralatan medis hingga jenis obat yang diberikan.
YLKI mendesak Kementerian Sosial, Kemenko PMK dan BPJS Kesehatan untuk menyortir kembali data peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Hal itu dapat mengurangi beban anggaran BPJS Kesehatan terhadap peserta PBI yang salah sasaran.
"Sebab faktanya peserta kelas mandiri mayoritas yakni sebesar 70 persen adalah peserta kelas 3," ujarnya.
(tribun network/tim/coz)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kelebihan Iuran BPJS Kesehatan Dijadikan Pembayaran untuk Bulan Berikutnya