Jembatan Tua dan Cerita Orang-orang Keramat di Dusun Rantau Keloyang

Sekitar medio 1940-1945, perebutan kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang memanas di Kabupaten Bungo.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Teguh Suprayitno
Tribunjambi/Mareza
Jembatan Rantau Keloyang, peninggalan sejarah Belanda di Bungo. 

Jembatan Tua dan Cerita Orang-orang Keramat di Dusun Rantau Keloyang

TRIBUNJAMBI.COM, MUARA BUNGO - Sekitar medio 1940-1945, perebutan kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang memanas di Kabupaten Bungo. Dusun Rantau Keloyang, yang saat itu dikuasai Belanda, ternyata juga diminati Jepang. Perang pecah, dan dusun (desa) yang terletak di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo itu pun jadi saksinya.

Ada sebuah jembatan yang menjadi akses jalan ke Dusun Rantau Keloyang. Orang-orang menyebutnya Jembatan Rantau Keloyang. Dari penuturan warga sekitar, jembatan itu selesai dibangun pada 1937, sebagaimana tertulis di beton sebelah kiri sebelum melintasi jembatan, yang terlihat ketika hendak memasuki pusat Dusun Rantau Keloyang. Namun, beberapa sumber lain menyebut jembatan itu sudah dimanfaatkan warga sebelum itu, sekitar 1920-an.

Walau begitu, masyarakat setempat sepakat bahwa jembatan tua itu menjadi satu di antara peninggalan kolonial Belanda yang tersisa. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana proses awal pembuatan jembatan itu.

Politisi PKB Juanda: Politik Tidak Terlepas dari Uang

Cuma Karena tak Punya BPJS & Tak Ada Biaya ke Rumah Sakit, 5 Warga Belu, NTT Meninggal Karena DBD

Walakin, jembatan yang terletak di atas Sungai Batang Pelepat ini sudah berkali-kali direnovasi. Mulai dari kayu, besi baja, dan beberapa bagian lainnya. Meski begitu, bangunan dasar jembatan itu masih asli.

Berbicara soal Jembatan Rantau Keloyang, ada cerita yang turun-temurun dikenang masyarakat. Konon, kejadian dalam cerita itu terjadi pada medio 1940-1945, saat penjajah Jepang mulai menginjakkan kaki ke sejumlah daerah di Bungo.

"Yang kami tahu, waktu itu tentara Jepang masuk. Dusun ini kan, waktu itu masih jadi jajahan Belanda," demikian tutur Syafrial, tokoh masyarakat setempat memulai cerita.

Sebelumnya, beredar kabar bagaimana perlakuan penjajah Jepang terhadap daerah jajahannya. Masyarakat setempat, yang saat itu sudah dijajah Belanda, menolak untuk dijajah Jepang. Belum lagi kolonial Belanda tetap berupaya mempertahankan wilayah kekuasaannya.

"Waktu itu Jepang mau masuk Rantau Keloyang. Tapi masyarakat menolak. Belanda juga (menolak)," ujarnya.

Akhirnya pribumi dan kolonial Belanda saling membantu untuk mengusir Jepang.

Beberapa daerah yang hendak dimasuki Jepang dibatasi jembatan, termasuk di Rantau Keloyang. Jembatan tua itu pun sempat hendak dirobohkan. Tapi saat itu, ada seorang keramat yang berhasil memukul balik tentara Jepang.

Berbeda dengan jembatan di atas Sungai Batang Bungo dan Sungai Batang Tebo yang dirobohkan ketika Jepang masuk--hingga kini bekasnya masih terlihat ketika air sungai surut--Jembatan Rantau Keloyang tidak sampai dilewati tentara Jepang. Semua berkat orang keramat itu.

Orang-orang Dusun Rantau Keloyang mengenalnya dengan sebutan si Batuk Api. Masyarakat setempat percaya, seorang keramat itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Itulah yang akhirnya membuat tentara Jepang ketar-ketir dan mundur.

Bangkitkan Memori Lama, Hanung Bramantyo Garap Tersanjung The Movie, Segera Tayang di Bioskop

Pengakuan Masril di Sidang Korupsi PLTMH Batang Asai: Uang Rp 10 Juta untuk Jatah LSM dan Wartawan

"Keramat kalau istilah kami menyebutnya. Orang itu, kalau tidak terdesak, ilmunya tidak ditunjukkannya. Tapi kalau sudah dibutuhkan nian, baru keluar ilmunya," kata tokoh masyarakat lain, menambahkan.

Namun, terkait siapa sosok si Batuk Api itu, sebagian masyarakat berbeda pendapat. Ada yang bilang, orang keramat itu adalah H Sa'ad, datuk rio (kepala desa) kedua yang menjabat dusun tersebut. Tapi ada juga yang bilang, orang keramat itu bukanlah datuk rio. Kendati demikian, masyarakat sepakat sosok si Batuk Api itu pernah mengusir penjajah Jepang yang hendak masuk ke Rantau Keloyang.

Selain sosok si Batuk Api, ada juga sosok si Lutut Panjang. Dari cerita turun-temurun, jika si Lutut Panjang duduk bersila, lututnya melebihi tinggi kepalanya.

Cerita Jembatan Rantau Keloyang pun turun-temurun diwariskan.

Hingga 2018 lalu, masyarakat Dusun Rantau Keloyang masih bergantung pada jembatan tua itu, sebagai akses transportasi menyeberangi Sungai Batang Pelepat. Kini, sudah dibangun jembatan baru, tepat di sebelah Jembatan Rantau Keloyang.

Syafrial yang juga menjabat sebagai Kasi Pemerintahan Dusun Rantau Keloyang menjelaskan, jembatan itu pertama kali dibangun dengan kayu bulian.

"Pertama kali pakai kayu bulian," tuturnya.

Diperkirakan, jembatan itu juga selesai dibangun pada masa pemerintahan datuk rio kedua, H Sa'ad yang juga dikenal dengan nama Rio Rumah Gadang.

Dulu, jembatan itu menjadi akses jalan yang dibuat kolonial Belanda untuk menghubungkan lintas Sumatera. Bahkan, hingga sekitar tahun 1980-an, jembatan itu masih menghubungkan jalur Lintas Sumatra.

"Sekitar 1980-an, Jalan Lintas Sumatera pindah. Padahal dulu, Jalan Lintas Sumatera itu di sini (Rantau Keloyang), belum di tempat yang sekarang," terangnya.

Beragam kendaraan pada masa lalu melintasi Jembatan Rantau Keloyang. Namun belakangan, jembatan itu hanya difungsikan untuk kendaraan kecil, seperti sepeda motor dan mobil-mobil kecil. Hal itu bertujuan untuk menjaga kondisi jembatan.

Di ujung jembatan, dipasang plang, agar truk-truk atau kendaraan berat tidak bisa lewat. Apa lagi, kini sudah ada jembatan baru yang bisa difungsikan untuk menjadi tempat lalu kendaraan berat.

Dari cerita warga setempat, tampilan jembatan itu sejak dulu tidak berubah. Lantai jembatan yang terbuat dari kayu yang disanggah baja masih ada di sana, meski sudah berkali-kali diganti. Bentuk jembatannya pun masih kuno, dengan tali sebagai penggantung dan baut-baut besar sebagai penyanggahnya. Ala jembatan tempo dulu.
Jika kendaraan melintas di atasnya, suara roda menggelinding di atas kayu-kayu yang tidak lagi tersusun rapi itu terdengar. Bahkan, ada beberapa kayu yang tidak lagi lurus di sejumlah bagian jembatan. Beberapa sisi kayu sudah lepas dari pakunya. Derap langkah pun terdengar jika menapak di atasnya.

Sejak ada jembatan baru di sebelahnya, masyarakat berharap bangunan lama itu bisa dimanfaatkan sebagai ikon Dusun Rantau Keloyang. Sayang, harapan itu belum terealisasi.

Terlepas dari semua itu, jauh sebelum hari ini, Jembatan Rantau Keloyang punya cerita, bahwa Belanda dan Jepang pernah memperebutkan wilayah jajahan, sebelum Indonesia merdeka.(Tribunjambi.com/ Mareza Sutan A J)

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved