Jembatan Tua dan Cerita Orang-orang Keramat di Dusun Rantau Keloyang

Sekitar medio 1940-1945, perebutan kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang memanas di Kabupaten Bungo.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Teguh Suprayitno
Tribunjambi/Mareza
Jembatan Rantau Keloyang, peninggalan sejarah Belanda di Bungo. 

Selain sosok si Batuk Api, ada juga sosok si Lutut Panjang. Dari cerita turun-temurun, jika si Lutut Panjang duduk bersila, lututnya melebihi tinggi kepalanya.

Cerita Jembatan Rantau Keloyang pun turun-temurun diwariskan.

Hingga 2018 lalu, masyarakat Dusun Rantau Keloyang masih bergantung pada jembatan tua itu, sebagai akses transportasi menyeberangi Sungai Batang Pelepat. Kini, sudah dibangun jembatan baru, tepat di sebelah Jembatan Rantau Keloyang.

Syafrial yang juga menjabat sebagai Kasi Pemerintahan Dusun Rantau Keloyang menjelaskan, jembatan itu pertama kali dibangun dengan kayu bulian.

"Pertama kali pakai kayu bulian," tuturnya.

Diperkirakan, jembatan itu juga selesai dibangun pada masa pemerintahan datuk rio kedua, H Sa'ad yang juga dikenal dengan nama Rio Rumah Gadang.

Dulu, jembatan itu menjadi akses jalan yang dibuat kolonial Belanda untuk menghubungkan lintas Sumatera. Bahkan, hingga sekitar tahun 1980-an, jembatan itu masih menghubungkan jalur Lintas Sumatra.

"Sekitar 1980-an, Jalan Lintas Sumatera pindah. Padahal dulu, Jalan Lintas Sumatera itu di sini (Rantau Keloyang), belum di tempat yang sekarang," terangnya.

Beragam kendaraan pada masa lalu melintasi Jembatan Rantau Keloyang. Namun belakangan, jembatan itu hanya difungsikan untuk kendaraan kecil, seperti sepeda motor dan mobil-mobil kecil. Hal itu bertujuan untuk menjaga kondisi jembatan.

Di ujung jembatan, dipasang plang, agar truk-truk atau kendaraan berat tidak bisa lewat. Apa lagi, kini sudah ada jembatan baru yang bisa difungsikan untuk menjadi tempat lalu kendaraan berat.

Dari cerita warga setempat, tampilan jembatan itu sejak dulu tidak berubah. Lantai jembatan yang terbuat dari kayu yang disanggah baja masih ada di sana, meski sudah berkali-kali diganti. Bentuk jembatannya pun masih kuno, dengan tali sebagai penggantung dan baut-baut besar sebagai penyanggahnya. Ala jembatan tempo dulu.
Jika kendaraan melintas di atasnya, suara roda menggelinding di atas kayu-kayu yang tidak lagi tersusun rapi itu terdengar. Bahkan, ada beberapa kayu yang tidak lagi lurus di sejumlah bagian jembatan. Beberapa sisi kayu sudah lepas dari pakunya. Derap langkah pun terdengar jika menapak di atasnya.

Sejak ada jembatan baru di sebelahnya, masyarakat berharap bangunan lama itu bisa dimanfaatkan sebagai ikon Dusun Rantau Keloyang. Sayang, harapan itu belum terealisasi.

Terlepas dari semua itu, jauh sebelum hari ini, Jembatan Rantau Keloyang punya cerita, bahwa Belanda dan Jepang pernah memperebutkan wilayah jajahan, sebelum Indonesia merdeka.(Tribunjambi.com/ Mareza Sutan A J)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved