Berita Viral

Pengin Viral, Selebgram Ini Nekat Teriak Terjangkit Virus Corona Dalam Pesawat, 243 Penumpang Panik

Pengin Viral, Selebgram Ini Nekat Teriak Terjangkit Virus Corona Dalam Pesawat, 243 Penumpang Panik

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Istimewa
Irkut MC-21 

Penyakit ini menyebabkan pendarahan di hidung, lambung dan usus, kemudian pendarahan dan efusi pleura menyebabkan pasien tenggelam oleh cairan tubuh mereka.

Pada tahun 2007, para ilmuwan menguji virus flu Spanyol pada monyet, menunjukkan gejala khas pandemi 1918.

Monyet ini mati karena badai sitokin (sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan).

Memantul dari invasi virus, memproduksi terlalu banyak sel darah putih dan sitokin untuk membunuh virus.

Sel darah putih ini menyerang sel sehat dan membunuh yang sakit.

Upaya menangani wabah coronavirus yang terkategori sebagai rumpun flu, tapi mempunyai dampak mematikan.
Upaya menangani wabah coronavirus yang terkategori sebagai rumpun flu, tapi mempunyai dampak mematikan. (Daily Mail)

Itu sebabnya orang muda berusia 20-an dan 40-an yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang sehat lebih mungkin meninggal karena penyakit ini.

Sempat Salah Penanganan

Seperti ditulis Historia.id  Pandemi Virus Spanyol terbawa masuk ke Indonesia kemungkinan melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang ataupun kapal kargo.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara.

Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut.

Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.

Menariknya, harian Sin Po dan Pewarta Soerabaia memiliki beberapa nama untuk menyebut pandemi itu: “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje”.

Dalam salah satu artikelnya, Pewarta Soerabaia bahkan menggunakan istilah "Russische Influenza" meskipun pandemi Flu Rusia sudah berakhir pada 1890.

Namun dalam artikel-artikel berikutnya, Sin Po maupun Pewarta Soerabaia menggunakan terminologi yang lazim digunakan di seluruh dunia untuk menyebut penyakit ini: Flu Spanyol.

Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan.

Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas.

Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.

Beberapa suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. 

Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya.

Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes."

Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera.

Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah.

Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.

Menurut Sinar Hindia, penyakit itu disebabkan perang yang berkecamuk di Eropa membuat kondisi udara menjadi buruk.

Faktor tersebut berkelindan dengan musim kemarau panjang yang tengah terjadi di Hindia.

Namun, De Sumatra Post membantah pendapat itu dengan menyebut influenza tersebut sebagai “Penjakit Rakjat”, berasal dari dalam Hindia, dan tidak menular. 

De Sumatra Post terpaksa menelan ludahnya sendiri ketika dalam salah satu artikelnya mendorong agar seluruh suratkabar di Hindia Belanda berkenan menyediakan rubrik singkat guna memberikan informasi mengenai bahaya penyakit ini.

Penyebaran Flu Spanyol di Hindia terjadi dalam dua gelombang. Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918.

Diduga kuat penyakit itu ditularkan penumpang dari Singapura. Sementara, kawasan timur, seperti Sulawesi dan Maluku, masih terbebas dari Flu Spanyol selama gelombang pertama.

Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto).

Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Memasuki Oktober 1918, virus telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda.

Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini.

Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi di Pulau Seram meninggal akibat keganasan virus ini.

Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit virus ini dan 6 persen dari mereka tewas.

Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol telah menjangkiti 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan.

Beberapa perusahaan di Surabaya bahkan harus mengurangi produksi karena lebih dari setengah karyawannya tidak dapat masuk kerja karena terkena Flu Spanyol. 

Sin Po bahkan mengabarkan kemungkinan keterlambatan tiba korannya agar masyarakat memaklumi. Sementara itu, sebuah perusahaan di Ambon harus menerima kenyataan hanya sembilan pekerjanya (dari total 800 pekerja) yang bisa masuk kerja.

Seluruh rumahsakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar.

Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu.

Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.

Menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien.

Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.

Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919. 

Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919.

Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas.

Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita.

Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja.

Kondisi serupa terjadi di Talun, mengakibatkan produksi kopi terhambat.

Di Padang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adabiah dihentikan karena mayoritas murid dan gurunya terinfeksi Flu Spanyol. Begitu juga dengan Kartinischool Goenoeng Sari dan Kweekschool Goenoeng Sari di Batavia dan HIS Gorontalo.

Laporan BGD tahun 1920 menyebutkan, “Seloeroeh desa di Hindia Olanda hampir tidak ada jang tidak terinfeksi oleh penjakit flu."

Akibatnya, menurut laporan itu, "[P]intu rumah tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak binatang bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan."

Menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad tahun 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes.

Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding jumlah korban Flu Spanyol di bulan yang sama, 402.163 jiwa.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Selebgram Teriak Terinfeksi Virus Corona di Pesawat, 243 Penumpang Panik Hingga Pendaratan Darurat

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved