MITOS atau FAKTA: MSG Alias Micin Menyebabkan Kecanduan dan Membuat Bodoh, Ini Asal Mulanya
MSG atau Monosodium Glutamat telah lama digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Di sisi lain, MSG atau yang akrab disapa micin ini selalu diklaim bu
TRIBUNJAMBI.COM- MSG atau Monosodium Glutamat telah lama digunakan sebagai bahan penyedap masakan.
Di sisi lain, MSG atau yang akrab disapa micin ini selalu diklaim buruk.
MSG selalu dituding bisa menyebabkan kecanduan dan membuat bodoh.
Lantas, bagaimana sebenarnya efek samping MSG?
Mengenal MSG
MSG adalah zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan cita rasa.
Penyedap rasa ini berasal dari asam amino glutamat yang merupakan asam amino non esensial alias asam amino yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh.
Lalu, mengapa MSG dikalim buruk untuk kesehatan?
Tahun 1960an Badan keamanan pangan Amerika Serikat (FDA) menerima banyak laporan mengenai efek samping yang dialami banyak pengunjung restoran masakan Cina.
• Download Lagu MP3 10 Jam Nonstop DJ Remix, Ada Video Full Bass Dj opus, DJ Slow, Dj Nanda Lia 2019
• Pembunuh Ibunya Ditembak Mati, Ini Terjadi Pada Anak Korban Saat Dengar Pelaku Tewas
• MAKAM Dibongkar, Misteri Kematian Bripda Derustianto Terungkap: Hukuman Dari Senior Jadi Biangkerok!
Sejak itulah, muncul istilah Chinese Restaurant Syndrome yang diklaim sebagai salah satu efek MSG.
Gejala Chinese Restaurant Syndrome antara lain nyeri kepala, kulit yang kemerahan, dan berkeringat.
Akan tetapi, masih belum banyak penelitian ilmiah yang memperlihatkan hubungan antara MSG dengan gejala-gejala tersebut pada manusia.
Efek MSG
Asam glutamat berfungsi sebagai neurotransmitter di otak, yang berfungsi merangsang sel-sel saraf untuk menyampaikan sinyalnya.
Beberapa orang mengklaim bahwa MSG menyebabkan glutamat yang berlebihan di otak dan stimulasi sel-sel saraf yang berlebihan.
Peningkatan aktivitas glutamat di otak memang dapat menyebabkan kerusakan.
Namun, hal itu bisa trjadi jika kita mengonsumsi MSG dalam jumlah yang terlalu besar.
Penelitian juga membuktikan konsumsi MSG dalam jumlah besar bisa meningkatkan kadar darah sebesar 556 persen.
Selain itu, riset 2011 yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Nutrition juga menemukan, individu yang mengonsumsi MSG dalam jumlah tinggi lebih rentan terhadap obesitas.
• Emosi Maia Estianty Meledak Saat Ditipu Driver Gojek, Saldonya Dikuras untuk Beli Hp Belasan Juta
• Spoiler One Piece 967 - Pulau Terakhir, Roger dan Harta Karun
• Wanita Penderita Kanker Nekat Tembak Mati Suaminya, Gara-gara Sudah Meninggal Takut Nikah Lagi
Dalam riset tersebut, disebutkan bahwa batas aman untuk konsumsi MSG maksimal 0,4 gram per hari.
Bukan zat berbahaya
Uniknya, World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), juga Kementerian Kesehatan RI, mengklaim MSG sebagai bahan makanan yang aman digunakan.
Namun, jika dikonsumsi secara berlebihan tentu berefek buruk bagi kesehatan kita.
• Daftar Nama Dokter Spesialis Kandungan di Jambi, Obgyn SpOG dan Lokasi Praktik
• Kronologi dr Panggayuh Jatuh di Kamar Mandi lalu Masuk Rumah Sakit, Sempat di ICU
• Tersandung Aturan Permendikbud, 15 Kepala Sekolah di Batanghari Terancam Diganti
• Dr Panggayuh Meninggal Dunia di Usia 57 Tahun, Sempat Terjatuh dan Jalani Operasi
Salah satu penelitian terbitan American Journal of Clinical Nutrition juga menyatakan bahwa masyarakat luas tetap harus waspada terhadap efek samping kesehatan yang mungkin terjadi akibat makan MSG dan agar lebih bijak mengatur porsinya.
Oleh karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS meminta produsen makanan dan restoran-restoran untuk tetap mencantumkan MSG dalam daftar komposisi produk mereka.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mitos atau Fakta, Micin Berbahaya Bagi Kesehatan Manusia?"
Adakah Kebenaran dalam Istilah "Generasi Micin"?
Belakangan, istilah generasi micin banyak dipakai untuk menggambarkan perilaku orang-orang zaman sekarang yang tidak bisa dimengerti, terutama di media sosial.
Apapun perbincangannya, pasti yang dibawa-bawa micin.
Namun, benarkah micin seburuk itu sampai bisa disalahkan untuk segala perilaku tersebut?
Micin atau monosodium glutamat ( MSG) adalah garam natrium asam glutamat yang ditemukan oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor kimia Universitas Tokyo, pada 1908.
Ia dianggap sebagai garam paling stabil yang mampu memberi rasa umami atau gurih pada makanan.
Glutamat yang merupakan bahan ajaib dari MSG sebetulnya adalah asam amino umum yang terjadi secara alami di berbagai macam makanan, seperti tomat, keju, permesan, jamur kering, kecap, buah dan sayur, bahkan ASI.
Ikeda memisahkannya dari rumput laut kering yang digunakan untuk membuat kaldu dashi dalam masakan Jepang, dan menambahkan natrium, salah satu dari dua unsur dalam garam, untuk mengubahnya menjadi bubuk yang bisa ditambahkan ke makanan.
Sejak saat itu, MSG menjadi salah satu bahan yang paling umum digunakan dalam memasak.
Namun, MSG tiba-tiba mendapat cap buruk pada tahun 1968 setelah Dr Ho Man Kwok menulis sebuah surat ke New England Journal of Medicine mengenai sindrom restoran China.
Dalam surat itu, Kwok menceritakan bagaimana dia mengalami mati rasa di bagian belakang leher yang menyebar hingga ke lengan dan punggung, lemas, dan berdebar-debar setiap kali makan di restoran China.
Kwok sempat menduga bahwa penyebabnya adalah kecap dan anggur, tetapi kemudian pilihannya jatuh ada MSG yang digunakan sebagai bumbu pelengkap di restoran China.
Surat Kwok ini memantik berbagai penelitian ilmiah besar yang melibatkan manusia dan hewan mengenai efek dari MSG.
Salah satu yang paling terkenal adalah eksperimen oleh peneliti Universitas Washington, Dr John W Olney, yang menemukan bahwa suntikan dosis MSG yang sangat besar di bawah kulit tikus yang baru lahir menyebabkan berkembangnya jaringan mati di otak.
Akibatnya saat tikus tumbuh dewasa, mereka menjadi kerdil, gemuk, dan beberapa di antaranya ada yang mandul.
Olney juga mengulang penelitiannya pada monyet rhesus dengan memberi mereka MSG secara oral dan mencatat hasil yang sama.
Sayangnya, 19 penelitian lain pada monyet yang dilakukan oleh peneliti lain gagal menunjukkan hasil yang sama.
Studi pada manusia juga gagal menemukan bukti tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 71 orang sehat, para peneliti memberi subyek tambahan dosis MSG atau plasebo berbentuk kapsul.
Hasilnya, peneliti tetap menemukan adanya gejala sindrom restoran China tadi, terlepas dari apakah subyek diberi MSG atau palebo, dan bahkan setelah peserta mendapat pilihan alternatif yang lain.
Untuk menyelesaikan perdebatan ini, pada 1995, Badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) meminta Federasi Masyarakat Amerika untuk Biologi Eksperimental untuk melihat semua bukti yang ada dan memutuskan apakah MSG benar-benar makanan jahat atau tidak.
Sebagai permulaan, para ahli menolak istilah sindrom restoran China karena penggunaan istilah ini dianggap merendahkan dan tidak memikirkan dengan luas sifat gejalanya.
Sebaliknya, mereka lebih memilih menggunakan istilah sindrom gejala MSG kompleks untuk menggambarkan beragam gejala yang berkaitan dengan konsumsi MSG.
Mereka kemudian menyimpulkan bahwa ada cukup bukti ilmiah untuk menunjukkan keberadaaan kelompok individu tertentu yang memiliki respons jelek terhadap MSG dalam dosis besar.
Reaksi ini biasanya muncul dalam waktu satu jam.
Akan tetapi, MSG dalam eksperimen tersebut diberikan dalam bentuk larutan dengan kadar tiga gram tanpa makanan.
Padahal, kebanyakan orang mengonsumsi MSG dengan kadar 0,55 gram per hari lewat makanan.
Studi lain yang dilaksanakan pada tahun 2000 mencoba mengeksplorasi hal ini lebih jauh dengan melibatkan 130 orang yang menyebut diri mereka sendiri reaktif terhadap MSG.
Subyek diberi larutan MSG atau plasebo.
Jika mereka mengalami satu di antara sepuluh gejala yang ada dalam daftar, mereka akan diuji kembali dengan MSG atau plasebo dalam dosis yang sama untuk melihat konsistensi.
Selain itu, subyek juga diuji dengan dosis yang lebih tinggi untuk melihat apakah hal tersebut justru meningkatkan gejala yang dirasakan.
Setelah diuji kembali, hanya dua dari 130 orang yang menunjukkan reaksi konsisten terhadap MSG dan bukan plasebo.
Namun, ketika mereka diuji dengan MSG dalam makanan, reaksi ini justru menjadi tidak konsisten dan menimbulkan keraguan pada validitas sensitivitas MSG.
Melihat penelitian-penelitian di atas, FDA pun mengategorikan MSG sebagai GRAS (Generally Recognised As Safe) atau umumnya diakui aman.
Meski demikian, tidak ada yang benar-benar pasti dalam dunia sains.
Penelitian lebih lanjut mengenai MSG tentu akan selalu bermunculan untuk benar-benar memastikan keamanannya.
Hingga saat itu tiba, mungkin ada baiknya kita menahan diri untuk tidak menyalahkan micin ketika melihat perilaku orang-orang zaman sekarang yang tidak dapat dinalar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Adakah Kebenaran dalam Istilah "Generasi Micin"?"