Pejabat Vatikan dari NTT Beri Pesan, Mewujudkan Perdamaian Bak Melempar Kerikil ke Telaga
Menurut pejabat Vatikan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan yang deras sekali dari berbagai arah
Dalam kesempatan itu, Padre Marco mengingatkan akan semangat Dokumen atau Deklarasi Abu Dhabi yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Ahmad Al Thayyeb pada Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, yang mendekatkan sisi-sisi kemanusiaan dari kehidupan dalam masyakarat yang plural.
Deklarasi Abu Dhabi tentang Perdamaian itu berjudul “Documento Sulla – FRATELLANZA UMANA Per Pace Mondiale E La Convivenza Comune” atau “Sebuah Dokumen tentang– Persaudaraan Umat Manusia Untuk Perdamaian dan Hidup Bersama”.

Dokumen yang bersejarah ini diterjemahkan dalam 7 bahasa termasuk Inggris, Arab, Jerman, dan Italia.
Menurut Padre Marco, Deklarasi Abu Dhabi merupakan sebuah dokumen yang memiliki makna propetis atau kenabian.
Artinya, deklarasi ini memuat hal-hal yang merupakan batu sandungan di dalam perjalanan umat manusia menuju masyarakat yang damai, adil dan makmur secara kasat mata.
“Bantu sandungan itu dimuat secara sangat jelas atau nyata meskipun terasa sangat menyakitkan tetapi sekaligus ingin mengingatkan kepada umat manusia justru itulah masalah-masalah yang harus ditelusuri bersama secara jujur dan dicari makna dan solusinya secara bersama-sama pula,” ujar Padre Marco.
Ditambahkannya, “Kita harus bekerja sama mendorong dan memajukan budaya persabatan, budaya pertemanan, budaya dialog, dan budaya perdamaian. Semua itu harus menjadi budaya. Sesuatu menjadi budaya kalau dilakukan secara teruus menerus. Ini yang diharapkan dari setiap masyarakat Indonesia. Tanpa hal itu intoleransi akan bertambah besar dan orang akan semakin takut hidup berbangsa dan bernegara.”
Ia menilai rakyat Indonesia secara internal saat ini tengah ditantang rasa kerukunan dan rasa kesatuannya sebagai sebangsa se-Tanah Air yang sudah mulai goyah, mengalami ketidakpastian.
Dengan berbagai peristiwa kekerasan, seperti terakhir menimpa Menko Polhukam Wiranto, menurut dia, turut mendukung rasa ketidakpastian di dalam relasi antarmasyarakat. Orang jadi takut dan waswas satu sama lain, selalu curiga yang sebenarnya hal itu tidak boleh terjadi.
Kepada masyarakat Indonesia, Padre Marco berharap, untuk lebih berpikir waras dan lebih bijak dalam menyerap berita, menerima doktrin dan menyikapi pengaruh yang mugkin pada akhirnya menjatuhkan kehidupan berbangsa.
Pasalnya, ia melihat gejala-gejala dan alur yang sama dari negara-negara yang sudah hancur, kini tengah dialami Indonesia. “Alur di negara kita seperti itu, tentu kita tidak mau sampai ke sana (hancur). Karena itu kita harus bekerja sama mencegah hal itu dengan terus menjaga dan meningkatkan kerukunan, persatuan, perhabatan, demi perdamaian,” ujarnya.
Sebaliknya bagi mereka yang merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, Padre Marco mengimbau mereka untuk menggunakan jalur-jalur konstitusi yang sudah ada.
“Sampaikan aspirasi melalui jalur konsitusi. Kalau menggunakan hukum rimba nanti akan chaos. Kita tidak mau hal itu terjadi,” pungkasnya.
Perdamaian Dalam Negeri
Sementara itu, AM Putut Prabantoro mengatakan semua warga negara Indonesia tidak bisa lepas dari kewajiban sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ikut serta secara aktif dalam perdamaian dunia.