Sempat Bekerja Sebagai Menteri Sosial Sambil Gendong Anak, Siapa Sebenarnya Rusiah Sardjono?
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1964 dengan judul asli Ibu Rusiah Sardjono, S.H., Menteri Sosial.
Kalau bercakap-cakap tentang pekerjaan ceriteranya panjang lebar, tetapi bila menyangkut sesuatu yang peribadi, agak ‘summier’.
Waktu kami meminta foto yang lebih bagus untuk digambarkan, jawabnya, “Tak usah bagus-bagus, oret-oret saja sudah cukup.”
Padahal menurut hemat kami, Bu Rus jauh lebih “charmant” daripada foto itu.
Apakah pernah bercita-cita menjadi menteri? “Oh, sama sekali tidak. Cita-citaku hanya untuk menjadi manusi aberguna, pengabdi Tuhan, Kepala Negara, bangsa, dan tanah air. Waktu saya mendapat panggilan di Departemen Kehakiman pada suatu pagi yang cerah dua tahun yang lalu, saya agak terperanjat. Untuk apa? Lebih-lebih waktu mendengar akan dijadikan menteri.”
Sebelum menjabat menceri, Bu Rus 20 tahun berturut-turut bekerja pada Departemen Kehakiman.
Sungguh tak mengherankan mengingat beliau dulu memilih jurusna hukum justru untuk memperjuangkan keadilan.
“Keadilan dengan K besar”, beliau menekankan. “Bukan untuk memperkaya diri sendiri.”
Teman seuniversitas sebelum perang ialah antara lain Bu Artati, sekarang Menteri PDK dan Bu Leila Rusyad, bekas Dubes Belgia.
Baru tahun 1949 beliau lulus sebagai sarjana hukum wanita pertama keluaran revolusi dari Universitas Gajah Mada.
Selama pendudukan Jepang, Bu Rus bekerja pada Hooki Kyokku, untuk kemudian pindah berturut-turut ke Balai Harta Peninggalan dan Kejaksaan Tinggi di Semarang.
Tepat waktu zaman revolusi fisik, beliau di Kaliwungu, desa kecil dekat Semarang. Di Yogya bekerja sebentar pada Deparlu lalu masuk bidang kehakiman lagi dan juga menjadi asisten Prof. Jokosutono di Gajah Mada.
Tetapi pengalaman yang paling mengesankan ialah waktu menjadi guru pada sekolah menengah di Pati. Kelasnya gedokan jaran (kandang kuda).
Bacaan kesayangan? Bhagavad Gita, sejarah kitab suci, kisah penghidupan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain, Mahatma Gandhi yang berani membela rakyat, kebenaran dan negara.
Beliau sangat terkesan membaca kisah Franciscus dari Asisi yang memberikan bajunya terakhir untuk menolong orang lain.
Tentang keberanian Daniel dalam sarang singa untuk membela kebenaran. Kecuali itu masih banyak buku-buku lain tentang social work, hukum, filsafah, dan keagamaan.
Bekal dari orangtua? “Ayah seorang pegawai SS, dulu selalu mengatakan ojo dumeh dan sepi ing pamrih rame ing gawe. Kita harus tawakal dalam segala keadaan.
Wejangan-wejangan itu tak pernah kulupakan kemudian. Saudara ada dua, seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan.
Anak hanya satu, kalau anak angkat banyak. Salah satu diantaranya, anak bekas pra juwana yang membunuh seorang Belanda, karena diejek.
Kata Belanda itu, ‘Kalau minta pekerjaan, minta pada presidenmu saja’. Mendengar ejekan itu dia kontan naik darah, Belanda itu terus diserang.
Tetapi dalam penjara anak-anak, ia tekun melakukan kewajibannya. Sekarang ia sudah mencapai bacceuleurat publisistik.”
Sementara itu, beberapa orang keluar masuk kamar kerja untuk memberi laporan. Rupa-rupanya sudah banyak orang yang menunggu di luar.
Pertanyaan terakhir: Apakah menurut Ibu, sikap sosial masyarakat sudah sesuai dengan cita-cita sosialisme kita?
“Belum, tetapi kita menuju ke arah itu. Rakyat sudah sadar apa yang dimaksud dengan sosialisme, hanya bimbingan masih kurang. Orang-orang tinggi yang harus lebih banyak terjun dalam masyarakat.”