Teriakan Putut Bikin Paus Fransiskus Berhenti, Pria Berblangkon Minta Berkat Damai untuk Indonesia
Pada pukul 08.00 lewat, Paus yang menaiki mobil kebesarannya lewat. Kesempatan itu tak disia-siakan pria berblangkon yang sengaja menunggu di sana.
Akhirnya, Suster Matrona Ola diminta untuk menuliskan drat berkat yang sudah disepakati.
“Dalam audiensi umum yang dihadiri ratusan ribu orang, setiap peziarah selalu berharap dapat menyentuh atau bersalaman dengan Paus. Namun tidak ada seorangpun yang bisa memperkirakan apakah harapan untuk menyentuh atau bersalaman dengan Paus dapat terwujud. Biasanya yang akan dihampirii oleh Paus adalah anak-anak kecil ketika berkeliling di tengah-tengah peziarah dengan mobil kehormatannya. Bahkan ketidakpastian ini juga dialami oleh para peziarah yang mendapat tempat khusus di sekitar podium,” ujar Putut Prabantoro yang juga Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia).
Sudah sejak subuh, Putut Prabantoro dan Gora Kunjana hadir di luar lapangan St. Petrus karena akses berkontrol belum dibuka.
Pada pukul 08.00, akses berkontrol dibuka dan karena berada pada urutan pertama, keduanya mempunyai kesempatan memilih tempat yang dianggap paling strategis untuk mendapat perhatian Paus.
Tempat yang dipilih keduanya adalah posisi kursi paling depan yang berhadapan langsung dengan tribun Paus.
Meski demikian keduanya menyadari bahwa dapat bersalaman dengan Paus adalah persoalan mukjizat mengingat tak seorangpun bisa “menyetir” Paus kepada siapa harus disalami.
Pengecualian terjadi bagi mereka yang memang sudah direncanakan untuk disalami dan berada di tempat yang khusus.
Selain itu, meskipun mendapat kesempatan memilih tempat yang dianggap paling strategis, keduanya tetap harus dituntut bersabar dan menahan lapar, menunggu kehadiran Paus beberapa jam ke depan.
Mereka mengaku tidak berbekal apa-apa namun disadari itu merupakan risiko yang harus diambil untuk bersama-sama dengan ratusan ribu peziarah lain mengharap terjadinya mukjizat dapat bersalaman dengan Paus.
“Mengenakan busana adat Jawa merupakan salah satu bentuk upaya mengambil perhatian Paus. Tadinya kami ingin membatalkan untuk mengenakan karena malam hari sebelumnya hujan deras mengguyur kota Roma. Namun karena sudah kepalang tanggung, kami akhirnya tetap mengenakan busana adat Jawa. Jika nanti ada perubahan cuaca dan hujan datang, ya risiko harus ditanggung. Saya kira mengenakan busana tradisional dalam audiensi bukan ide yang salah. Namun demikian, tetap saja itu tidak menjamin bahwa Paus akan menengok ke kita. Semua serba tidak pasti, para peziarah tetap bahagia sekalipun tidak bersalaman dengan Paus. Tapi yang kami alami adalah suatu mukjizat, Paus menengok kepada kami, Paus menghampiri dan kami bersalaman agak lama dan bahkan menandatangani kertas yang dibawa oleh mas Putut Prabantoro,” ujar Gora Kunjana.
Seperti biasanya, Paus ke luar dengan menggunakan mobil kebesarannya dan jalur pertama adalah lewat di depan para peziarah yang duduk paling depan termasuk Putut Prabantoro dan Gora Kunjana.
Kehadiran Paus di publik langsung disambut dengan tepuk tangan dan teriakan “Papa Francesco” dari para peziarah.
Tanpa mau meninggalkan momentum itu, Putut dan Gora juga meneriakkan kata “Papa Francesco” yang melewati para peziarah yang duduk di bangku depan namun berbatas pagar kayu.
Tiba-tiba Paus menengok kepada keduanya agak lama, demikian kisahnya, dan seakan memberi tanda.
“Paus mengenal kalian sepertinya. Itu tangannya menunjukkan sesuatu dan matanya terus kepada kalian,” ujar Rosa, peziarah dari Italia, yang duduk di sebelah Putut Prabantoro.
