Siapa Sebenarnya Ayah dari Ibu Ani Yudhoyono? Ternyata Seorang Kopassus, Kecewa dengan Soeharto
Ani Yudhoyono, istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono saat ini tengah berjuang keras melawan kanker darah
Penulis: Leonardus Yoga Wijanarko | Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
"Syafakillah, la'a ba'sa thohuruun insyaALLOH. Semoga ALLOH Ta'ala menyembuhkannya," tulis @@PutraRanggalaw7.
"Semoga Bu ANi segera sembuh... Ya Allah angkatlah penyakit Bu Ani... Engkau maha penyembuh ya Allah," tulis @pw_iin.
Lalu Siapa sebenarnya ayah dari Ibu Ani Yudhoyono?
Dilansir dari WIkipedia, Sarwo Edhie Wibowo (lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 – meninggal di Jakarta, 9 November 1989pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia.
Baca: Luna Maya Sampai Nangis, Akui Salah, Kesandung Masalah Film Aladdin dan Terancam Denda 2 Miliar
Baca: Sandiaga Uno Beberkan Poin Perdebatan BPN Soal Gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi Hingga Alot
Ia adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).
Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.
Sarwo Edhie lahir di Purworejo, Jawa Tengah berasal dari keluarga PNS bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri.
Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.
Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air(PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.
Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.

Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesiapada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.
Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).