Masa-masa Kritis Kerajaan Majapahit Terungkap Setelah Ratusan Tahun, Sebelum Runtuh oleh Serangan
Penyebab runtuhnya Kerajaan Majapahit masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, karena ada beberapa versi. Benarkah itu karena serangan Kerajaan Demak
Penyebab runtuhnya Kerajaan Majapahit masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, karena ada beberapa versi. Benarkah itu karena serangan Kerajaan Demak? Inilah masa kritisnya
TRIBUNJAMBI.COM - “Setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal, maka negara Majapahit seolah-olah terjun jatuh ke bawah dari tempat yang tinggi sekali, dengan tidak disambut angkatan muda yang diberi hati dan diberi darah seluas samudera.”
Demikian ditulis Dr Muhammad Yamin di bagian penutup buku “Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara”, yang ditulisnya tahun 1945.
Apa yang dikatakan tokoh kemerdekaan Indonesia itu benar adanya.
Kejayaan Majapahit berangsur surut setelah di puncak kejayaan antara tahun 1350 hingga 1370 Masehi.
Baca Juga
Para Jenderal Terkejut saat Benny Banting Baret Kopassus, Prajurit Berkaki Satu Dibela Mati-matian
Pejabat Rusia Dibekuk Intelijen Indonesia, Letkol Susdaryanto Dimanfaatkan untuk Curi Data Penting
Empat Anak Perempuan Liliana Tanoesoedibjo yang Belum Menikah, Keluarga Konglomerat Indonesia
Usai Debat Sengit, Rocky Gerung Tulis Cuitan Sindir Adian Napitupulu, Yunarto Wijaya; Ada yang Stres
Bandingkan Ukuran Pinggang Gisella Anastasia, Luna Maya dan Nia Ramadhani, Pantas Endorse Terus
Duet Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada sukses menancapkan pengaruh dan kekuasaan Majapahit hingga Selat Malaka.
Tahun 1478, Raja Krtabhumi tewas saat Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya dari Kadiri menggempur kedaton ibukota Majapahit di Trowulan.
Inilah masa kritis Majapahit sebelum terkubur selama-lamanya oleh serbuan Pati Unus dari Demak.
Pertentangan Krtabhumi dan Ranawijaya ini jauh sebelumnya telah dimulai ketika meletus konflik antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. Wikramawardhana adalah menantu Hayam Wuruk.
Ia memperistri Kusumawardani, putri Hayam Wuruk dari permaisurinya yang ia jadikan pewaris tahta.
Wikramawardana sendiri masih terhitung keponakan Hayam Wuruk, karena ia putra Bhre Pajang Rajasaduhiteswari, adik sang raja.
Sementara Bhre Wirabhumi lahir dari istri selir, yang tak berhak atas tahta. Ia hanya diberi wilayah di Blambangan (Banyuwangi).
Serat Pararaton mencatat awal pertikaian pada tahun 1323 Saka (1401 Masehi) ini sebagai mula-mula perang Paregreg.

Wirabhumi akhirnya dikalahkan, tertangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 1405 Masehi.
Ini benih konflik sangat berat yang akan berlanjut turun-temurun, membuat Majapahit kian lemah dan tercerai-berai.
Ahli sejarah Hasan Djafar dalam buku “Masa Akhir Majapahit (Komunitas Bambu, 2012)”, mencatat Prasasti Pamintihan bertarikh 1395 Saka (1473 M), menyebut Bhre Pandanalas atau Dyah Suraprabhawa, yang saat itu memerintah Majapahit dari Tumapel, disingkirkan.
Bhre Krtabhumi merebut kekuasaan dari tangan Suraprabhawa pada tahun 1390 Saka (1468 M).
Prasasti-prasasti Girindrawarddhana dari bertarikh 1408 Saka, menyebut upacara sradha memperingati 12 tahun wafatnya Paduka Bhatara ring Dahanapura.
Tokoh ini diidentifikasi sebagai Bhre Pandanalas alias Suraphrabawa.
Dihitung mundur, Bhre Pandanalas ini meninggal pada tahun 1396 Saka setelah tersingkir dari Kedaton Tumapel dan tinggal di Daha.
Setelah meninggal, ia digantikan putranya, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Benih permusuhan berlanjut ke anak keturunan Majapahit. Ranawijaya menyusun kekuatan dan berusaha merebut Majapahit dari tangan Krtabhumi.
Ambisi itu terwujud tahun 1400 Saka (1478 Masehi).

Krtabhumi ditumpas di kedatonnya, dan Ranawijaya mempersatukan kembali sisa-sisa Majapahit yang nyaris berantakan oleh konflik keluarga.
Kemunculan nama Girindrawarddhana ini sangat menarik karena terkesan memunculkan klan baru di luar garis keturunan Sri Ranggah Rajasa atau Ken Arok (Singasari) sebagai titik awal dinasti Rajasa.
Hasan Djafar menyebut ada dua nama pengguna Girindrawarddhana yang dikenal dalam sejumlah prasasti. Yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawiijaya dan Girindrawarddhana Sri Singhawardana atau Dyah Wijayakusuma.
Keduanya memiliki hubungan darah sangat dekat. Hasan Djafar meyakini mereka kakak beradik yang pernah berkuasa di Klin (Keling).
Identifikasi itu berdasar sejumlah prasasti batu yang ditemukan di berbagai lokasi di sekitar Daha, Kadiri, dan Trowulan.
Babad Tanah Jawi sulit dijadikan rujukan karena genealogis raja-raja Majapahit ditulis sebagai percampuran data historis dan mitos.
Sebagian bahkan mencampuradukkan genealogi dari panteon Hindhu dan Islam.
Hasil pengurutan silsilah ke atas dari Dyah Ranawijaya, membuktikan raja terakhir Majapahit ini benar-benar masih keturunan Ranggah Rajasa atau Ken Arok, yang menurunkan tokoh-tokoh berkuasa sejak zaman Singhasari hingga Majapahi di puncak kemegahannya.
Menurut ahli sejarah Dr BJO Schrieke, Girindrawarddhana Dyah Ranawiijaya dan Girindrawarddhana Sri Singhawardana atau Dyah Wijayakusuma adalah putra Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana.
Dyah Wijayakarana ini putra Bhre Keling. Bhre Keling ini cucu Wikramawardana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk.

Dengan demikian genealoginya Girindrawarddhana ini benar-benar keturunan langsung Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit.
Tentang detik-detik runtuhnya Majapahit di tangan Ranawijaya, belumlah didapat data yang valid dan rinci.
Versi yang sering diceritakan berdasar kisah Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Darmagandul.
Namun ceritanya bersilang campur dengan penggunaan nama Brawijaya yang membingungkan.
Namun intinya ada kesamaan narasi, yaitu pasukan Demak menggempur kedaton Majapahit, dan raja yang berkuasa di Jawa saat itu ditundukkan.

“Menurut kami, penaklukan Majapahit oleh Demak harus dipandang sebagai akibat adanya perebutan kekuasaan antara keluarga-keluarga raja. Dalam hal ini, tindakan penguasa Demak dapat dipandang sebagai perjuangan menguasai Majapahit,” kata Hasan Djafar.(Tribunjogja.com/xna)
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Inilah Masa Kritis Majapahit Sebelum Akhirnya Terkubur Selama-lamanya
Subscribe Youtube
Empat Anak Perempuan Liliana Tanoesoedibjo yang Belum Menikah, Keluarga Konglomerat Indonesia
Hukum Melaksanakan Salat Tahajud Usai Salat Tarawih dan Witir, Bolehkah?
Dandanan Nagita Slavina Seharga Rp 274 Juta untuk Datang ke Acara Syahrini, Cek Daftarnya
Para Jenderal Terkejut saat Benny Banting Baret Kopassus, Prajurit Berkaki Satu Dibela Mati-matian
Kopaska Beraksi di Bank, Perompak yang Ambil Tebusan Babak Belur Kena Jebakan Maut