Sejarawan Ungkap Misteri Pembantaian dan RudapaksaPerawat Australia di Pulau Bangka
Pada 1942, sekelompok perawat Australia dibunuh serdadu Jepang yang belakangan dikenal dengan peristiwa pembantaian di Pulau BangkA
Sebelum peristiwa pembantaian, Silver mencatat para perawat Australia menjalani "hidup bahagia dan tanpa beban" di Singapura sampai akhir 1941.
"Mereka makan-makan dan minum-minum—kesayangan militer. Mereka hanya berurusan dengan keluhan yang biasa ditangani militer saat tidak berperang—kecelakaan saat latihan, kecelakaan mobil, malaria," tutur Silver.

Hidup mereka berubah tatkala Jepang melancarkan serangan pada 8 Desember 1941, hanya beberapa jam sebelum peristiwa Pearl Harbor.
"Mereka kewalahan dengan korban perang. Rumah-rumah di Singapura bahkan diubah menjadi rumah sakit."
Silver menegaskan pentingnya menyingkap "kebenaran yang tidak disensor" sesua dengan keinginan Vivian Bullwinkel pada 1945 dan 1946.
"Jika saya tidak mengungkap rahasia ini, saya menjadi bagian budaya kerahasiaan pemerintah serta melindungi para pelakunya. Para perawat berhak kisah mereka diceritakan—itu keadilan bagi mereka," terang Silver.
Baru-baru ini Silver mengaku menerima surel dari orang yang mengenal para perawat itu secara pribadi.
"Saya sedikit risau khalayak mungkin berpendapat saya seharusnya membiarkan peristiwa lama tidak diungkit lagi. Namun, saya belum mendapat satu hinaan pun," ujarnya.
Silver menginginkan lembaga Australian War Memorial (AWM) memasukkan dugaan pemerkosaan para perawat dalam kisahpembantaian di Pulau Bangka.
Direktur AWM, Dr Brendan Nelson mengatakan kepada BBC:
"Kami tidak membantah atau meremehkan tuduhan-tuduhan ini. Sudah diketahui bahwa pemerkosaan dan serangan seksual dipakai sebagai senjata dalam peperangan. Bagaimanapun, sebagai penyintas tunggal dalam insiden itu, Letnan Kolonel Bullwinkel telah tiada hampir 20 tahun lalu. Kami tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
Perbandingan dengan #MeToo
Silver membandingkan peristiwa di Pulau Bangka dengan gerakan #MeToo.
"Moral sosial yang sama sedang berlangsung—di mana perempuan merasa wajib menunggu sebelum bisa berkata apapun. Sebagai korban, mereka dibuat merasa bertanggung jawab. Saya pikir #MeToo akan memberikan kepercayaan kepada Vivian Bullwinkel untuk akhirnya angkat bicara.
"Perempuan penulis sejarah umumnya lebih tertarik pada elemen manusia ketimbang seberapa banyak senjata yang terlibat. Sebagai perempuan, saya punya empati."