Sejarah Indonesia
Sosok yang Dulu Pernah Menampar Soeharto, Nasibnya Menjadi Tragis Kala Pak Harto Jadi Presiden
Sosok yang Dulu Pernah Menampar Soeharto, Nasibnya Menjadi Tragis Kala Pak Harto Jadi Presiden
“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).
Namun, saat itu Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.
Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina. Akhirnya Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.

Baca Juga:
Hadiri Kunker BRG, Bupati Masnah Sampaikan Terima Kasih Ke BRG, yang Bantu Masyarakat Muarojambi
Ricuh di Sydney, Ratusan WNI Tak Bisa Nyoblos, Kinerja KPU Jadi Sorotan
Sosok Yamaha NMAX 2019 Sudah Muncul, Makin Garang dengan Bodi Depan yang Lebih Tebal
7 Slogan Pasukan Khusus yang Disegani di Dunia, Kopassus 1 Diantaranya dengan Kata yang Menggetarkan
Akhir hayat Jenderal Nasution menyedihkan
Nasib Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berbeda saat terjadi peristiwa penculikan jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965.
Ahmad Yani tewas, sementara AH Nasution berhasil melarikan diri.
Namun Jenderal Nasution harus kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani.
Nasution masih hidup hingga 2000.
Selepas menjadi Ketua MPRS dan melantik Soeharto sebagai presiden ke-2 RI, kariernya meredup.
Di Orde Baru, Nasution nyaris tak kebagian peran mengurus negara. Yang terjadi malah ia dicekal orde baru.
Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan, dimana ada Presiden Soeharto.
Bahkan, sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari, ikut ditarik dari kediamannya.
Sebuah cerita di penghujung hayatnya malah membuat banyak orang bersedih.
Kabarnya, dia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme.
Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi.