Selamat Hari Ibu 2018, 'Tuhan Lebih Mencintai Ibu', Cerpen Riko Raden yang Menyentuh dan Bikin Haru

Sejak kepergian ayah, ibu tak mau berbicara kepadaku. Rasanya aku mengerti apa yang terjadi pada jiwa ibu. Kehilangan seorang suami membuatnya merana.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Ilustrasi Hari Ibu 2018 

Ibu yakin kami berpisah bukan karena takdir tapi karena dorongan cinta yang terus bertumbuh dan tak pernah kenal ruang dan waktu.

Walaupun jauh namun aku terus merasakan kehadirannya. Dia selalu hadir saat aku mengingat senyumnya yang tak pernah pudar dalam memori ingatanku. Senyuman khas seorang ibu membawa rasa tersendiri dalam hatiku. Tatapan ibu kadang memberi aku ruang untuk terus memahami hidup ini bahwa tak aka hari esok jika hari ini membuatku bahagia.

Kebahagian hari ini tak terulang lagi hari esok. Kebahagian hari esok membawa tersendiri. Itulah setiap kali ibu menatapku. Kehidupan di tanah rantau yang tak pernah kenal hari membuatku tidak ada waktu untuk memikirkan nasib ibu. Saban hari selalu ada di tempat kerja. Pergi pagi pulang malam. Ketika berada di rumah kontrakan dengan tubuh terasa lemas, aku pun langsung tidur tanpa berdoa seperti ibu pernah ajarkan saban malam dulu.

Kehidupan seperti ini terus aku jalankan saban hari kecuali kalau sakit. Sehingga waktu untuk memikirkan ibu tidak ada. Tapi aku tahu, ibu seorang yang setia untuk berdoa. Dia pernah menceritakan ketika dia ditimpa oleh sakit. Berkat doa yang tulus dari hatinya sehingga sakit itu tak lama sudah sembuh. Aku yakin juga ibu selalu setia mendoakan aku walaupun aku tak pernah mendoakannya.

***
Kini aku bersama istri dengan perasaan yang tak menentu menunggu keterangan dari balik daun pintu yang tertutup itu. Saat ini ibu dibawa masuk ke kamar perawatan darurat.
Dari bisik-bisik yang kudengar bahwa ibu telah sadar maka dengan segera aku membuka pintu untuk melihat keadaan ibu. Suasana kaku dan diliputi kecemasan langsung menjebakku dalam kebimbangan.

Tangisanku sudah terhenti, tetapi aku gagal menemukan kata-kata yang kuucapkan. Mulutku kelu. Istriku hanya diam tanpa berkata-kata. Istriku tidak tahu bahwa saat aku pergi merantua, aku dan ibu telah terjadi perselisihan karena ayah meninggalkan kami selama-lamanya.

Suara hatiku mengatakan, istriku tidak tahu apa-apa tentang masa lalu hidupku. Dan hal ini hanya bisa terjadi karena kemuliaan hati ibu untuk tidak menceritakan kepada istriku. Adakah perempuan yang lebih mulia daripada ibu yang tidak memberi tempat kepada benih dendam tumbuh di hatinya?

Aku melihat Ibu dalam penantian yang sangat mencemaskan. Apabila ada kabar baik dari balik pintu tertutup itu, maka aku sangat senang karena ibu masih setia bersama kami. Tetapi bila tidak, ibu akan berpisah dengan aku, anak yang satu-satunya ia cintai.

Tetapi bagaimana juga perpisahan demikian merupakan peristiwa besar dalam perjalanan hidup kami. Dan aku akan merasakannya sebagai pukulan jiwa dan ironi besar karena orang yang telah membesarkan aku akan pergi selama-lamanya.

Tidak! Kata hatiku. Dengan segenap kerendahanku, aku berdoa dalam hati kiranya ibu tidak akan pergi meninggalkan aku selama-lamanya.

Karena aku ingin mendengar kembali tutur kata ibu yang lemah lembut serta sinar matanya yang teduh.
"Maaf pak, siapa keluarga dari pasien ini." Kata dokter ketika berada dalam ruangan ini.
"Aku dokter!" dengan nada halus aku menjawabnya.
"Tolong segera tanda tangan surat operasi ini."
"Kalau boleh tahu, ibu sakit apa dokter."
Tangan dokter membimbing tanganku untuk keluar sebentar dari dalam kamar ini. Mungkin dokter ingin supaya ibu tidak boleh mendengar sebelum operasi.

"Maaf pak, ibu sakit kanker payudara". Kata dokter sekali lagi.
"Apa?" Aku kaget setelah dokter mengatakan demikian. Saat itu pula air mataku mulai turun membasahi pipiku.
"Iya pak. Sekarang harus dioperasi".

Hampir pukul sebelas malam, kabar tentang ibu belum juga keluar. Dokter sudah dua kali muncul dari ruangan operasi tidak mau mengatakan kepadaku bagaimana keadaan ibu.

"Bantulah kami dengan doa." Itulah sepotong kata yang dilontarkan oleh dokter. Namun, dari sikap dokter tersebut aku mulai panik bahwa keadaan ibu sungguh tidak menggembirakan. Tubuhku terasa mengapung.

Dunia penuh sunyi, hampa dan rapuh. Semua urat terasa kehilangan tenaga. Ketika dokter keluar sekali lagi dari kamar operasi, aku mendekatinya dan bertanya sekali lagi keadaan ibu.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved