Nama Egianus Kogoya Tak Setenar Aksinya, Sosok Berpengaruh di Bumi Cendrawasih ini pun Tak Kenal
Nama Egianus Kogoya Tak Setenar Aksinya, Sosok Berpengaruh di Bumi Cendrawasih ini pun Tak Kenal
Tribun: Mereka dapat senjatanya dari mana?
Biasanya merampas punya aparat.
Kok bisa? Bagaimana caranya?
Paulus: Tidak jarang aparat, baik TNI ataupun Polisi jalan sendirian atau kelompok yang tidak besar untuk menyisir ke hutan-hutan. Pergerakan mereka (TNI/Polri) ini terpantau oleh mereka (kelompok bersenjata). Nah, di saat lengah, senjata dirampas. Kalau kelompok aparat ini cukup besar, mereka berondong peluru. Semakin banyak peluru yang bisa dirampas ini, mereka semakin tinggi begitu. Tinggi hati gitu.

Tribun: Ataukah mungkin ada pihak luar, misalnya dari dalam negeri atau dari luar negeri, yang memasok senjata kepada mereka?
Paulus: Rampasan dari aparat saja, setahu saya.
Tribun: Apakah ada bedanya pergerakan mereka dari dulu sampai sekarang?
Paulus: Ada perbedaan. Mereka dilatih. Saya curiga ada mantan aparat yang melatih mereka. Dulu itu, saya sudah pecat beberapa orang. Kemungkinan mantan aparat ini ada yang dari polisi, ada juga yang dari TNI yang telah dipecat dan menjadi sipil terlatih. Mungkin mantan desertir itu yang melatih mereka.
Baca Juga:
BREAKING NEWS: Wakil Ketua DPRD Merangin Isnedi Ditahan di Lapas Klas IIB Bangko
Bilik dan Kotak Suara Sudah Diterima KPU Tanjabtim, Ternyata Jumlahnya Masih Kurang
Tahun Berapa Yesus Lahir? Di mana Yesus Lahir?
Tribun: Sekarang kan, mereka sudah pakai senjata yang punya tele. Kelompok bersenjata ini sudah semakin modern.
Untuk kebutuhan kehidupan mereka, bagaimana maksudnya?
Paulus: Kelompok bersenjata ini biasa merampok warga. Apabila, warga tidak kasih, mereka biasa ancam. Karena mereka merasa berkuasa, punya senjata, maka asal main ambil saja. Ada hewan babi atau ayam warga misalnya, mereka tinggal minta. Ada anak gadis, mereka ini tinggal main ambil. Warga ketakutan sebenarnya kalau mau melapor ke aparat.
Tribun: Apakah tidak ada bantuan lain? Dari Jakarta, misalnya?
Paulus: Saya pernah buat analisis jaring laba-laba. Ada juga mereka dapat bantuan dari luar. Negara tetangga (Irjen Paulus Waterpauw tidak menyebut nama negara). Iya ada beberapa dari luar lah.

Tribun: Sebenarnya apa latar belakang soal pembantaian di Nduga ini? Apa sempat ada masalah sebelumnya?
Paulus: Dulu, kalau di Nduga ini memang ada 11 masalah yang harus diselesaikan. Terutama masalah HAM. Pak Luhut (Menkopolhukam dijabat Luhut Binsar Panjaitan, 12 Agustus 2015 s/d 27 Juli 2016, Red), dulu sempat minta saya, ketika menjadi Kapolda Papua dan pihak TNI untuk segera menyelesaikan masalah-masalah HAM ini, termasuk kasus Mapenduma 96. Beberapa sudah selesai. Kalau untuk yang penembakan terakhir ini, saya tidak tahu persis apa latar belakangnya. Apa terkait atau tidak dengan sebelumnya? Saya tidak tahu. (Operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka. Operasi dimulai 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut dan berakhir 9 Mei 1996 setelah penyerbuan Kopassus ke markas OPM di Desa Geselama, Mimika. Peyerbuan itu belakangan dianggap melanggar hak asasi manusia, Red)
Baca Juga:
Produksi Padi Belum Maksimal, Batanghari Kekurangan 9.253 Ton Beras
Hasil Survei Pilpres 2019, Prabowo-Sandi Ungguli Jokowi-Maruf di Madura, Peneliti Bongkar Sebabnya
Bebas Januari 2019, Ahok Ternyata Bisa Lebih Cepat Keluar Penjara Jika Mau Lakukan Hal Ini
Tribun: Sebagai orang asli kelahiran Papua dan jenderal polisi yang 14 tahun bertugas di Papua, kira-kira apa solusi terhadap kekerasan yang berulang kali terjadi di Papua?
Paulus: Saya kurang melihat ada gerakan dari kepala daerah atau pemerintah daerah setempat untuk mengajak diskusi kelompok-kelompok ini. Seharusnya, pemerintah setempat mengajak kelompok ini untuk diskusi. Ajak bicara. Sekali pertemuan, masih ada pertanyaan, ajak lagi untuk kedua kalinya. Masih ada yang tidak paham, ajak lagi yang ketiga. Begitu seterusnya, sampai mereka paham. Wajar, karena mereka orang tua banyak berpendidikan rendah. Atau anak muda, belum tentu punya wawasan yang cukup. Itu yang saya lakukan dulu sehingga bisa memberi solusi yang berempati. Ini yang saya tidak lihat dari pemerintah daerah atau DPRD atau setempat saat ini. (bersambung)
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: