KRONOLOGI Kecelakaan yang Menewaskan NH Dini, Taksi yang Ditumpangi Hantam Truk
NH Dini digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
TRIBUNJAMBI.COM - NH Dini meninggal dunia.
Sastrawan dan novelis Nurhayati Srihardini (82) atau lebih dikenal dengan nama pena NH Dini, meninggal dunia pada Selasa (4/11/2018).
NH Dini meninggal dunia karena terlibat kecelakaan kecelakaan.
Sastrawan NH Dini meninggal dunia dalam perawatan di RS Elizabeth akibat luka yang parah.
“Setelah kecelakaan langsung dibawa ke RS Elisabeth. Meninggal dunia sore ini. Jenazah saat ini masih berada di kamar jenazah,” ujar Humas Elisabeth, Probowatie Tjondronegoro, melalui telepon.
Kronologi kecelakaan
Lokasi kecelakaan di ruas tol Tembalang, tepatnya km 10 Kota Semarang, dari Semarang arah Salatiga, Selasa (4/12/2018) siang.
Kecelakaan itu melibatkan sebuah truk bermuatan bawang berpelat nomor AD1536 JU dan sebuah taksi minibus.
Baca Juga:
Aa Gym sampai Berdiri Malu oleh rakyat, Saksikan Debat Sengit Fadli Zon Vs Irma Suryani
The Citizens Raih 6 Kemenangan Beruntun, Hasil Laga Watford Vs Manchester City 1-2
Sidang Gugatan Cerai Gisella Anastasia ke Gading Marten Digelar Hari Ini, Mengapa Tidak Hadir?
Menurut penuturan sopir truk, Gilang (28), kecelakaan bermula ketika as roda kiri mobil yang dikendarainya patah.
“As roda kiri patah, kemudian truk berhenti. Karena tak dapat saya kendalikan, mundur dan mengenai sebuah taksi yang berjalan searah,” ujarnya kepada Tribunjateng.com di lokasi.
Gilang menyatakan tidak terluka atau lecet dan hanya merasa kaget dan pegal-pegal.
Sementara itu, taksi yang terlibat kecelakaan itu dikendarai oleh Suparjo (57).
Masa kecil
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Dia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul".
Wikipedia menuliskan NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati.

Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah.
Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Karya NH Dini
NH Dini meraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Dia telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya.
NH Dini digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998).
Selain itu masih banyak karya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Pada 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya.
Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu.
NH Dini menyadari bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Dia akhirnya di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum.
Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang.
Selamat jalan NH Dini.
TRIBUN JAMBI DI INSTAGRAM:
Kondisinya Dulu Pernah Sesak Napas Kambuh, Sehari Jelang Vonis Zumi Zola 6 Desember
Perkiraan Berat Hukuman Zumi Zola, Tuntutan 8 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 Miliar
Nasib Anak Raja Minyak Amerika saat di Hutan Papua, Hanya Potongan Kaki yang Ditemukan