Sejarah Indonesia

Terungkap! Keberadaan Soeharto di Malam Kelam Penculikan 7 Jenderal Pada Tragedi G 30S PKI

Banyak kisah yang masih jadi pertanyaan dan tanda tanya banyak pihak akan kisah kelam Gerakan 30 September/PKI (G 30S/PKI).

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Soeharto dan Soekarno 

Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.

Sebelum berangkat ke markasnya Soeharto berpesan kepada Soedjiman, "Segera kembali sajalah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat."

Tak lama kemudian Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya. Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur. Ketika itu Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa.

Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu. Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya.

Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung. Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.

Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 pagi. Herannya, hingga pukul 07.00 pagi RRI tak juga bercuap-cuap. Aneh...!

Baca: Nathania Claresta Orvile, Atlet Putri Perbasi Jambi, Perkuat Timmas di Kejuaraan Dunia Argentina

Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji.

Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim. Di Istana Presiden juga terlihat melompong.

Soekarno ketika itu sedang tidak ada di tempat. Padahal, Jumat 30 September Bung Karno sempat tampil di depan peserta Munas Tehnik di Istora Senayan. Setelah itu Bung Karno tak kembali ke Istana, melainkan memilih tinggal di Wisma Yaso.

***

1 OKTOBER 1965. Mayor Jenderal TNI Soeharto tampak serius di depan radio yang ada di markas Kostrad. Dari balik radio terdengar suara,

"Pada hari Kamis tangal 30 September 1965 di Ibu Kota Republik Indonesia Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung..."

Mendengar nama Letkol Untung disebut, Soeharto sontak terkejut bukan kepalang.

"Saya mendengarkan siaran RRI pertama mengenai Gerakan 30 September. Deg… saya segera mendapat firasat. Lagi pula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat, rapat dengan PKI. Malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI Alimin," tutur Soeharto.

Menjelang tengah hari Soeharto bertemu dengan Marsekal Muda Leo Watimena yang sengaja datang ke Kostrad untuk meminta penjelasan.

Baca: Warga Lebak Bandung Ini Ngaku Sudah Dua Kali Bawa Sabu Dalam Jumlah Besar. Pertama Berhasil Lolos

Kepada Leo, Soeharto bercerita bahwa ia mengenal Untung sejak lama ketika menjadi salah satu Komandan Resimen 15 di Solo. Saat itu Untung menjadi salah satu Komandan Kompi Batalion 444.

"Gerakan 30 September yang dipimpin Untung bukan sekedar gerakan yang akan menghadapi Angkatan Darat (AD) dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Gerakan untung mempunyai tujuan lebih jauh, ingin menguasai negara secara paksa atau kup," kata Soeharto.

Sebelumnya Soeharto juga sempat mengadakan rapat khusus bersama asisten-asistennya, beberapa jam setelah ia mendengar peristiwa itu dari RRI.

"Menghadapi kejadian ini, kita tidak hanya sekedar mencari keadilan, karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan sebagian dibunuh, akan tetapi sebagai prajurit Sapta Marga, kita merasa terpanggil untuk menghadapi masalah ini karena yang terancam adalah negara dan Pancasila. Saya memutuskan untuk melawan mereka," jelas Soeharto.

Karena itu Soeharto memerintahkan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk segera bertindak, merebut kembali RRI dan pusat Telkom yang telah dikuasai pemberontak.

Setelah itu ia menghubungi para panglima angkatan dan Polri. Melalui radiogram, Soeharto mengeluarkan perintah harian kepada para Pangdam di daerah agar menguasai daerahnya masing-masing, memberikan laporan secara teratur dan gerakan pasukannya hanya atas perintah Panglima Kostrad.

***

IBU Tien masih menjaga anak kesayangannya Tomy di RSPAD. Sementara suasana di RSPAD terlihat agak berbeda dari hari biasanya.

Tak lama kemudian Ibu Tien baru mengetahui kalau semalam telah terjadi penculikan terhadap jenderal-jenderal yang dilakukan pasukan Cakrabirawa.

"Mendengar berita ini saya jadi gelisah dan ingin pulang ke rumah dengan segera. Saya pamit pada dokter kepala rumah sakit, tapi beliau berkeberatan jika tidak ada izin dari Pak Harto. Saya bilang tidak usah menunggu perintah. Pokoknya saya mau pulang," kenang Ibu Tien.

Hingga 1 Oktober sore, Soeharto belum memberikan kabar kepada istrinya apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Sementara detik demi detik, pikiran Ibu Tien semakin gelisah.

Baca: Harga Tiket Konser Guns N Roses di Jakarta, Ini Posisi Paling Dekat saat 8 November 2018

"Maka saya nekad saja untuk pulang karena saya gelisah dan tidak betah lebih lama di rumah sakit. Saya pikir, nanti kalau terjadi hal-hal yang lebih gawat anak-anak di rumah, saya di RS, nanti saya tidak bisa berbuat apa-apa."

Hari itu juga, Ibu Tien membawa Tommy pulang ke rumahnya diantar Probosutedjo dan ajudan Soeharto bernama Wahyudi.

Mengatisipasi keselamatan istri Pangkostrad, Probosutedjo meminta izin kepada Bu Tien untuk membawa senjata. "Saya minta permisi pada ibu apakah boleh senjata-senjata yang ada di rumah, kita bagi pada Ibnu Hardjanto dan Ibnu Hardjojo. Ibu setuju. Saya sendiri pegang dua jenis senjata," kenang Probosutedjo.

Sesampainya di rumah, Bu Tien tak melihat suami tercintanya. Kabarnya, Soeharto masih berada di markas Kostrad. Sementara Soeharto sendiri hanya memberikan amanat untuk disampaikan kepada istrinya, agar segera mengungsikan anak-anaknya ke rumah ajudannya di Kebayoran Baru.

Mendapat amanat itu, Bu Tien semakin penasaran. Ia tanya kepada ajudan senior Pangkostrad Bob Sudijo yang ikut mempersiapkan pengungsian. "Ini rahasia Bu," jawab Bob.

Karena Bob dianggap tidak mau terbuka, Probosutedjo sempat ngamuk.

"Bob kamu jangan begitu. Kalau terjadi apa-apa pada Bapak yang akan menderita dan kehilangan adalah istrinya dan semua keluarga termasuk saya," jelas Probo. Akhirnya Bob buka kartu bahwa Soeharto saat ini berada di markas Kostrad.

Setelah itu, keluarga Soeharto boyongan ke Kebayoran Baru.

Sedangkan Probosutedjo tidak ikut. Selama sehari semalam berada di rumah ajudannya, Ibu Tien mendadak mendapat kabar yang mengelisahkan hatinya.

Baca: Cara Menghindari Server sscn.bkn.go.id Padat saat Unggah Berkas, Ini Tips dari BKN

"Waktu saya di pengungsian, tiba berita dan diberitahukan kepada saya bahwa ada seorang anak perempuan sedang mencari ayahnya yang bernama Soeharto. Ia sedang menunggu di rumah Chaerul Saleh," tuturnya.

Seketika itu juga Bu Tien angkat kaki menuju ke rumah Chaerul Saleh. Mengenakan jaket tentara dan dikawal ajudannya, ia berangkat dari Kebayoran Baru menuju ke Jalan Teuku Umar.

Sesampainya di sana, Ibu Tien mendapati seorang anak perempuan yang sedang ditemani seorang anggota AURI. "Saya lalu membawanya pergi. Tiba di rumah, saya interview. Dari jawaban-jawabannya sama sekali tidak cocok. Raut wajahnya saja tidak mirip sedikitpun dengan Pak Harto. Saya jadi yakin anak ini bukan anak Pak Harto," jelas Ibu Tien.

Meski begitu, Ibu Tien masih tetap penasaran. Diam-diam ia membuka sebuah tas koper yang dibawa anak perempuan itu. Isinya hanya sebuah gitar dan sebungkus bubuk yang kelihatannya seperti bubuk pembasmi tikus.

Selanjutnya, Ibu Tien meminta wanita itu agar beritirahat di sebuah kamar yang kemudian pintunya dikunci dari luar.

"Setelah itu saya pergi ke Kostrad untuk menemui Pak Harto, melaporkan hal ikhwal anak perempuan itu. Bapak bilang agar dibawa ke Kostrad saja. Keesokan harinya ketika pintu kamarnya dibuka, kamar sudah kosong. Anak itu telah menghilang. Rupanya dia melarikan diri turun melalui jendela menggunakan stagen," tutur Ibu Tien.

Ibu Tien menafsirkan, wanita itu sengaja dipasang untuk melenyapkan Panglima Kostrad dengan menggunakan racun tikus yang dibawanya. "Sejak itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan anak itu, tidak ada pula kabar beritanya," kata Ibu Tien.

(Achmad Subechi)

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved