1 Muharram 1440 H, Mengapa Dilarang Menikah Saat Bulan Suro? Ternyata Ada Penjelasan
Pada beberapa kalangan masyarakat Jawa, bulan Suro (atau dalam penanggalan Islam disebut Muharram) dianggap salah satu bulan yang dikeramatkan.
Hal ini tentu bermakna bahwa di bulan spiritual ini, alangkah lebih baik jika menggunakannya untuk beribadah, untuk merehatkan diri dari hingar-bingar dunia, bahkan untuk merenungkan kehidupan agar berjalan lebih baik.
Sedangkan, jika hajatan pernikahan atau hajatan lain digelar, masyarakat akan cenderung mengeluarkan biaya yang banyak untuk hajatan tersebut.
Hal ini tentu membuat bulan spiritual tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena kesempatan untuk beribadah dan renungan berkurang atau malah hilang sama sekali berganti dengan pesta hajatan.
Selain dari segi spiritual, pantangan menikah di bulan Suro bisa pula dikaitkan dari segi sosial dan ekonomi.
Baca: Kerbau Milik Kiai Slamet Diarak 1 Muharram, Dianggap Sakti Hingga Kutunya Dicari Orang
"Orang Jawa perlu let (jeda), termasuk kondisi keuangan. Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif. Ini versi yang modern ke manajemen uang," tambahnya.
Dalam masyakarakat Jawa, menikah bisa dilakukan sepanjang tahun, kecuali pantangan pada bulan Suro.
Hal ini dikaitkan dengan adanya rehat dari pengeluaran untuk biaya hajatan, bukan hanya dari pihak penyelenggara, tetapi untuk orang yang menghadiri hajatan.
Jika tak ada rehat dalam satu bulan, dipastikan sepanjang tahun masyarakat akan mengadakan atau menghadiri hajatan, sehingga perlu kerja yang lebih keras untuk memenuhi pengeluaran tersebut.
Hal itu tentu membuat orang sebal karena menghadiri hajatan pernikahan atau hajatan lain yang tak ada hentinya.
Beda halnya jika ada rehat satu bulan, dengan begitu akan ada uang yang bisa disimpan.
Baca: Kerbau Milik Kiai Slamet Diarak 1 Muharram, Dianggap Sakti Hingga Kutunya Dicari Orang
Baca: Niat Sunnah Puasa Asyura 1 Muharram 1440 H Jatuh pada 11 September 2018
Sesungguhnya, jika semua hal itu dilakukan akan masuk dalam kearifan lokal karena akan memunculkan toleransi, meningkatkan spiritual, atau lebih memahami keadaan sekitar.
Bahkan, dalam Islam, ada sunah untuk berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram (Suro).
Hal ini mengindikasikan bahwa kita bisa mengambil hikmah dari puasa dengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu, bukannya membuat hajatan pesta.
Selain itu pada puasa, kita juga dapat belajar untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak berlebihan.
Apa pun perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang pantangan hajatan di bulan Suro, semuanya memiliki tujuan yang baik.
Sumber: Intisari Online