Kisah Bagaimana Hubungan Soekarno dan Soeharto yang Begitu Dekat, Hingga Bung Karno Wafat

Sejumlah kalangan masih bertanya-tanya tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau Super Semar, terkait dengan keaslian dan kontroversinya.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Soekarno dan Soeharto. 

Tentu saja, mind games yang dilancarkan Presiden Soekarno-Mayjen Soeharto tidak bisa mudah ditangkap oleh kalangan pembantu-pembantunya karena fokus masing-masing pada urusan mikro/teknis.

Mereka hanya bisa menjelaskan fakta-fakta mikro dan tidak pada aspek strategi makro kebangsaan.

Begitu pula dengan sikap Mayjen Soeharto yang mendua terhadap eksistensi Presiden.

Berdasarkan Ketetapan No. 33 MPRS Presiden Soekarno “dilucuti” dari semua kekuasaan eksekutifnya dan seorang pejabat Presiden diangkat untuk menggantikannya.

Selanjutnya, diserahkan kepada Presiden baru untuk memutuskan pengambilan tindakan hukum kepada mantan Presiden Soekarno atas tuduhan keterlibatannya dalam G 30 S/PKI.

Namun, pada malam setelah dilantik MPRS sebagai Pejabat Presiden, Mayjen Soeharto membuat pernyataan mengejutkan melalui TVRI yang menyatakan bahwa untuk sementara waktu menganggap Soekarno sebagai Presiden, walaupun tanpa memiliki kekuasaan eksekutif sama sekali.

Ia beralasan bahwa berdasarkan kesaksian tim dokter di bawah sumpah, kesehatan mantan Presiden Soekarno sedang memburuk.

Ia meminta pengertian rakyat untuk membiarkan dirinya memperlakukan Soekarno sebagai Presiden.

Sayangnya, perspektif makro relasi Soekarno-Soeharto kurang memperoleh pencermatan, sehingga keduanya sering dijadikan komoditas untuk tujuan pragmatis-politis.

Presiden Soeharto dituding tidak memperlakukan mantan Presiden Seokarno secara baik dan bahkan membuatnya menderita setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden.

Tuduhan itu menyangkut aspek-aspek mikro seperti pemindahan mantan Presiden Soekarno dari Istana Bogor ke Wisma Yaso, pengasingan dari kolega-kolega terdekat dan pengingkaran wasiat tempat peristirahatan sewaktu meninggal.

Bahkan peristiwa peralihan kekuasaan itu melahirkan kabar tentang upaya dan pelaksanaan kudeta merangkak, tapi kebenarannya sulit dibuktikan.

Tudingan itu dimanfaatkan untuk menyudutkan Presiden Soeharto sekaligus menarik simpati pendukung mantan Presiden Soekarno agar dapat dimobilisasi sebagai pendukung agenda politiknya.

Pemindahan mantan Presiden Soekarno dari Istana Bogor ke Wisma Yaso merupakan tindakan logis, mengingat konstruksi Indonesia merdeka bukan lagi sebuah kerajaan yang menyatukan asset publik dengan pribadi.

Istana merupakan aset publik dan bukan milik Presiden Soekarno secara pribadi, sehingga setelah tidak menjabat lagi, dirinya juga harus meninggalkan Istana Bogor.

Mengenai pemakaman di Blitar, publik banyak yang tidak paham bahwa Presiden Soeharto dibuat sulit adanya dua surat wasiat Presiden Soekarno yang menyatakan ingin dimakamkan bersama salah satu istrinya.

Salah satu istri memiliki satu surat wasiat, sedangkan istri yang lain juga memiliki surat wasiat yang sama.

Secara diplomatis, Presiden Soeharto kemudian mengarahkan agar Presiden Soekarno dimakamkan di dekat makam ibunya.

Berkaitan dengan sterilisasi terhadap orang-orang atau pembantu terdekatnya lebih banyak dilatarbelakangi alasan keamanan.

Peristiwa Halim di mana Presiden Soekarno menolak mengikuti skenario G 30 S/PKI dan ketidaksungguhannya mempertahankan status hukum PKI telah membuat kecewa kader-kader PKI.

Tidak mustahil, koordinasinya dengan negara-negara Blok Timur, khususnya RRC akan mendorong agen-agen komunis untuk melakukan tindakan yang membahayakan jiwa mantan Presiden Soekarno.

Sterilisasi dari orang-orang terdekatnya dimaksudkan untuk membentengi dari kemungkinan masuknya ancaman yang dilakukan dengan memanfaatkan orang-orang terdekatnya.

Informasi yang diperoleh dari orang-orang terdekat dapat saja menjadi telaah untuk membuat skenario menghabisi mantan Presiden Soekarno.

Apabila menengok kebelakang, sakit parahnya Presiden sebelum kudeta juga dimungkinkan karena dikelilingi dokter-dokter yang tidak steril (dokter RRC).

Kelak setelah menjabat sebagai Presiden, Mayjen Soeharto memenuhi janjinya kepada Presiden Soekarno untuk menjaga kelangsungan rekonstruksi peradaban nusantara dengan membangun citra positif Indonesia dalam pentas internasional. Asean dan Gerakan Non Blok dikelola secara konsisten untuk tidak berada dalam kendali Blok Barat maupun Blok Timur.

Ia galang konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 serta mengarahkan seluruh rakyat untuk membangun sendi-sendi perekonomian bangsa.

Sejak itulah, agenda tinggal landas dilancarkan dalam rangka melanjutkan cita-cita berdikari yang gelorakan Presiden Soekarno.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved