Kisah Bagaimana Hubungan Soekarno dan Soeharto yang Begitu Dekat, Hingga Bung Karno Wafat
Sejumlah kalangan masih bertanya-tanya tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau Super Semar, terkait dengan keaslian dan kontroversinya.
Dua perintah dalam satu struktur komando itu jelas menempatkan Mayjen Pranoto hanya sebatas figuran.
Presiden Soekarno memahami betul kompetensi kemiliteran dan penguasaan Mayjen Soeharto atas kendali pasukan.
Ia paham bagaimana karakter Mayjen Soeharto yang tidak bisa dihalangi ketika bimbingan keyakinannya telah menuntun untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Namun, atas semua keteguhan sikap Mayjen Soeharto, Presiden Soekarno juga paham, tidak pernah ada catatan sejarah perilaku/tindakan Mayjen Soeharto hendak melukai/melawan dirinya, sebagaimana sejumlah kasus pembangkangan para perwira.
Mayjen Soeharto merupakan sosok prajurit profesional, loyalis presiden, yang menggagalkan kudeta terhadap Presiden Soekarno dalam peristiwa yang dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946, aktor Serangan Umum 1 Maret 1949 sehingga mengembalikan harga diri Indonesia dalam diplomasi internasional, mediator rujuknya kembali Panglima Jenderal Soedirman dengan Presiden Soekarno dan Pengalima Operasi Mandala.
Atas kontribusi Soeharto mudalah, eksistensi Presiden Seokarno membawa kemegahan Indonesia bisa berjalan.
Presiden Soekarno sepertinya sudah mengkalkulasi dualisme kepemimpinan militer pada tanggal itu akan dengan mudah diatasi Mayjen Soeharto.
Pada tanggal 14 Oktober 1965, kurang dua minggu sejak kudeta PKI, Presiden mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Men/Pangad definitif menggantikan Mayjen Pranoto Reksosamodro.
Tindakan ini semakin menambah sikap mendua Presiden dimana secara terbuka melalui statemen-statemennya membela PKI, namun secara bersamaan, menyerahkan kendali TNI AD kepada Mayjen Soeharto, sosok yang sejak awal tidak sejalan dan bahkan antipati terhadap PKI.
Pada tanggal 1 November 1965 (1 bulan sejak kudeta PKI), Presiden mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).
Keputusan itu disusul dengan pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada tanggal 6 Desember 1965.
Secara jelas, Presiden menunjukkan sikapnya menyetujui gagasan Mayjen Soeharto untuk melakukan pembersihan terhadap pelaku G 30 S/PKI beserta jaringannya.
Pada tanggal 4 Desember 1965, Presiden Soekarno memenuhi saran TNI AD untuk membentuk Mahmilub dan memberi wewenang kepada Mayjen Soeharto sebagai Perwira Penyerah Perkara (Papera).
Presiden menerbitkan Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar), yang isinya memerintahkan Mayjen Soeharto/Menpangad, dengan atas nama Presiden/ Penglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”.
Penerbitan Surat Perintah tersebut secara jelas memberikan keleluasaan cukup besar kepada orang yang sudah diketahui Presiden sangat tidak bersahabat dengan PKI beserta orang-orang yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI.