Kisah Bagaimana Hubungan Soekarno dan Soeharto yang Begitu Dekat, Hingga Bung Karno Wafat
Sejumlah kalangan masih bertanya-tanya tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau Super Semar, terkait dengan keaslian dan kontroversinya.
Ketika Surat Perintah tersebut dimanfaatkan Mayjen Soeharto untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya serta menjadikannya sebagai partai terlarang, Presiden tidak melakukan tindakan yang berarti secara hukum untuk menggagalkannya.
Atas desakan Soebandrio yang pro PKI, Presiden marah-marah dan menyatakan bahwa maksud Surat Perintah tersebut hanya dalam lingkup teknis militer dan bukan tindakan politis. Namun payung hukum yang kemudian dipergunakan untuk menertibkan tindakan Mayjen Soeharto, berupa Penetapan Presiden (tanggal 13 Maret 1966) yang isinya: “…memerintahkan Mayjen Soeharto untuk kembali kepada Pelaksanaan Surat Perintah Presiden/ Panglima tertinggi/ Mandataris MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis”.
Penpres tersebut secara mudah dapat dipahami tidak memiliki implikasi hukum sama sekali untuk menghapus tindakan Mayjen Soeharto membubarkan PKI. Terkecuali jika melalui surat perintah yang sama, Presiden menyatakan mencabut keputusan pemegang mandat (Mayjen Soeharto) membubarkan PKI dan menyatakan membatalkan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya. Tindakan Mayjen Soeharto bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Presiden hanya berwacana dan melakukan statemen yang bernada simpati terhadap PKI, namun tidak mengeluarkan keputusan hukum untuk menghentikan langkah-langkah Mayjen Soeharto melakukan pengejaran terhadap pelaku G 30 S/PKI beserta jaringan-jaringannya.
Presiden dengan kekuasaan yang masih dimilikinya sangat memungkinkan mengganti Mayjen Soeharto sebagai Men/Pangad atau mencabut penugasan-penugasannya sebagai Pangkopkamtib dan Penyerah Perkara dalam Mahmilub jika tidak menyetujui langkah-langkahnya.
Kedekatan antara Presiden Soekarno-Mayjen Soeharto dalam peristiwa G.30.S/PKI dan pergeseran kekuasaan dalam peristiwa setelahnya, hanya bisa dijelaskan dalam perspektif penyelamatan bangsanya dari perangkap ancaman Blok Barat maupun Blok Timur. Peristiwa G 30 S/PKI menyadarkan Presiden Soekarno jika Blok Timur tidak lagi sesuai skenarionya untuk dimanfaatkan melawan Blok Barat, karena telah terbukti menikam dirinya sendiri.
Namun, untuk segera meninggalkan Blok Timur, ia akan menjumpai kenyataan posisi Indonesia tinggal sendirian dalam panggung internasional.
Selama ini, pijakan diplomasinya dibangun atas tumpuan dukungan negara-negara Blok Timur.
Sedangkan meminta dukungan barat merupakan kemustahilan mengingat dalam beberapa tahun sebelumnya telah ia tempatkan sebagai musuh besar dengan menikamnya berkali-kali (seperti keluar dari PBB, gagasan Nefos dan kampanye melawan Amerika maupun Inggris).
Sikap Presiden Soekarno terlihat jelas dari dialektikanya dengan Mayjen Soeharto mengenai pembubaran PKI sebagai jalan keluar terciptanya stabilitas bangsa. Mayjen Soeharto menyatakan rakyat akan mendukungnya 100% jika Presiden mengambil langkah seperti peristiwa Madiun, dengan membubarkan PKI. Presiden Soekarno menyatakan hal itu tidak mungkin, mengingat ia telah mempromosikan Nasakom sebagai pilar gerakan Non Blok.
Mayjen Soeharto kemudian menyediakan dirinya sebagai bumper untuk menghilangkan kom-nya, sementara Presiden Soekarno mendukung dari jauh saja.
Dialektika itu membawa pada sesi mengharukan dimana Presiden Soekarno menanyakan hendak diperlakukan seperti apa dirinya nanti. Mayjen Soeharto menjawabnya dengan menyatakan hendak mikul duwur mendem jero (melindungi pimpinan yang dihormatinya itu.
Setelah melihat kesungguhan upaya Mayjen Soeharto, Presiden kemudian “melimbungkan diri” dengan mengambil resiko melawan arus besar tuntutan masyarakat untuk tidak membubarkan PKI, sambil melihat kemampuan Mayjen Soeharto mengendalikan keadaan.
Ia tetap membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh PKI dan memberikan harapan bahwa melalui dirinya eksistensi PKI tetap bisa dipertahankan, namun pada saat bersamaan membekali Mayjen Soeharto dengan instrumen legal-formal agar arah perjalanan bangsa memperoleh pijakan baru.
Oleh karena itu, dalam perspektif ini, dapat dimaklumi penolakan Presiden Soekarno terhadap dukungan sejumlah satuan ketentaraan yang bermasud membela dirinya melawan kebijakan Mayjen Soeharto.