Sambung Hidup dan Biayai Pacar, Indi Jual Diri, Tarifnya Hingga Tempat Mangkalnya Disini

Mengenakan celana ketat coklat dan kaus tangan panjang bergaris, ia mengarungi kehidupan malam itu. Bibirnya merona, alis tampak

Editor: Suci Rahayu PK
Shuttershock
Ilustrasi 

Akhir Februari 2018, tribunmanado.co.id, bertemu dengan Titin, seorang anggota kelompok ini di Tugu Lilin. Ia tampak pucat, tak sanggup berjalan cepat. Sambil menahan sakit, ia berjalan memegang pinggangnya.

Titin (27) rupanya baru keluar rumah sakit, karena keguguran. Baru keluar siang itu. Saat itu kelompok ini menjalankan kartu sumbangan untuk membayar biaya rumah sakit. Titin tak punya kartu tanda penduduk (KTP), apalagi BPJS Kesehatan.

Ia dan pacarnya, yang juga anggota kelompok tak punya uang untuk bayar rumah sakit di RSUP Kandou Malalayang. Titin dan pacarnya belum menikah, tapi terlanjur hamil, namun pada akhirnya keguguran.

Titin memperlihatkan tagihan rumah sakit sebesar Rp 515 ribu. Atas dasar satu rasa, satu hati, anggota kelompok ini menjalankan kartu sumbangan demi memenuhi tagihan rumah sakit.

Namun Titin tak bisa menjelaskan kenapa ia sudah keluar rumah sakit, sementara tagihan belum bayar. Dan ia pun masih terengah-engah berjalan. "Katanya pacar saya akan ditahan, kalau belum bayar," ujar dia waktu itu.

Titin adalah warga Poigar, Minahasa Selatan. Sudah beberapa bulan terakhir ia jadi anggota kelompok dan hanya tidur di emperan toko di Pasar 45. Ia rela meninggalkan keluarganya demi hidup di Manado bersama kelompok ini.

"Dia sudah baikan tapi masih pemulihan kondisi," ujar Indi saat tribunmanado.co.id menanyakan kondisi Titin sekarang.
Opo, pemimpin kelompok Amitater mengatakan sudah beberapa waktu ia mengumpulkan anggotanya Amitater. Anggota kelompok ini datang dari berbagai daerah seperti Minahasa, Bolmong, Bitung dan daerah lainnya.

Opo mengaku menerima siapa saja yang mau bergabung dengan kelompok mereka. Opo mengaku adalah korban kapal pamboat yang hilang, lalu akhirnya berhasil diselamatkan. Ia memutuskan tak lagi melaut, dan hidup bergelandangan di Manado.

Ilustrasi
Ilustrasi ()

Beberapa dari anggota kelompok laki-laki mengaku menjadi tukang parkir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya jadi tukang di Pasar 45. Mereka sering berkumpul berkelompok di Tugu Lilin.

Sementara dari penelusuran tribunmanado.co.id, pada malam hari para anggota kelompok perempuan menjadi PSK, seperti Indi. Uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam kelompok ini rata-rata saling berpasangan.

Kapolresta: Kami Tangani Masalah Hukumnya

Kapolres Manado Kombes Pol FX Surya Kumara menegaskan, pihaknya siap menindaklanjuti jika ada masalah hukum yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial (PSK) yang biasanya nongkrong di Taman Kesatuan Bangsa (TKB).

Penegasan itu diungkapkannya ketika dihubungi tribunmanado.co.id, Selasa (1/5/2018) malam. "Kalau ada permasalahan hukum pasti kami tangani, cuma sampai sekarang belum ada yang mengadu tentang keberadaan mereka," kata dia.

Perwira tiga bunga ini menambahkan, pihaknya juga sering berkoordinasi dengan Dinas Sosial terkait permasalahan ini.

"Mereka ini kan kebanyakan orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Nah, itu tugas pemerintah untuk memberi mereka pekerjaan. Kami hanya menangani masalah hukumnya," kata dia.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved