Ini Kalimat Satir Ki Hajar Dewantara Yang Bikin Merah Kuping Penjajah Belanda, Tajam
Bersama dr Cipto Mangunkusumo dan Deuwes Dekker, pada 13 September 1913, Ki Hajar Dewantara dibuang ke Negeri Belanda hampir enam tahun.
TRIBUNJAMBI.COM - Nama Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara melekat dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei. Pahlawan Nasional ini memang satu di antara tokoh yang berjasa pada dunia pendidikan.
Perjalanan Ki Hajar Dewantara dari sejak kecil, pelajar, sampai menjadi menteri, berliku-liku. Dia mengalami tantangan pendidikan pada zamannya, dari penjajahan sampai kemerdekaan.
Dikutip dari intisari.com, semua orang tahu Ki Hajar Dewantara adalah laki-laki dengan hati lembut.
Meski demikian, ia tak segan-segan untuk menghantam Pemerintah Kolonial Belanda.

Sekitar 1910-an, ia pernah membuat merah kuping Pemerintah Belanda dengan pamflet satir ‘Als ik eens Nederlander was’ (Anda aku seorang Belanda).
Tahun 1913 itu pemerintah kolonial hendak merayakan hari kemerdekaan Belanda dengan besar-besaran.
Tahun itu adalah tepat seabad Belanda lepas dari penjajahan Perancis-nya Napoleon.
Tak hanya oleh kalangan kolonialis, pemerintah berharap perayaan itu juga diikuti oleh seluruh warga Hindia Belanda (waktu itu belum ada Indonesia).
Usulan ini tentu saja membuat pemuda Suwardi Suryaningrat, yang waktu itu aktif di Indische Partij (IP), gerah.
Menurut laki-laki yang waktu itu berusia 24 tahun itu, sangat tidak pantas Belanda merayakan hari kemerdekaannya di atas tanah jajahannya.
Baca: Sadis! Wanita Ini Menangis Karena Dihajar Suami Saat Melayani Pembeli yang Ramai
Baca: Jokowi: Racun Kalajengking Lebih Mahal Dibanding Emas, Rp 145 Miliar per Liter, Ini Faktanya
Baca: Badlet Hilang di Danau Kerinci Malam Tadi, Pagi Ini Masih Pencarian
Lebih lagi mereka mengajak serta Pribumi. Ia kemudian menulis pamflet galak itu.
Berikut beberapa penggalannya:
“…Seandainya aku orang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu…
Tapi aku bukan bangsa Belanda. Aku hanya putra bangsa kulit coklat warga negara jajahan Belanda.
Karenanya, aku tidak protes…
Sudah sebagai kewajibanku sebagai penduduk tanah jajahan Belanda untuk memperingati dengan sepenuhnya hari kemerdekaan Negeri Belanda, negara yang kami pertuan.
Aku akan minta pada segenap kawan sebangsa dan sependuduk jajahan kerajaan Belanda untuk ikut merayakannya…
Dengan demikian, kami akan mengadakan ‘demonstrasi kesetiaan’.
Alangkah besar hati dan gembiraku… Syukur alhamdulillah bahwa aku bukan orang Belanda…”
Reaksi Belanda atas pamflet itu pun tak kalah galaknya.
Bersama dua rekannya, dr Cipto Mangunkusumo dan Deuwes Dekker, pada 13 September 1913, Ki Hajar Dewantara dibuang ke Negeri Belanda selama hampir enam tahun.
Terlahir sebagai bangsawan
Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (ejaan lama) atau Suwardi Suryaningrat (ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan). Dia lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun.
Seperti dituliskan di wikipedia, Suwardi Suryaningrat merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Perlu diketahui, dia merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa. Lembaga pendidikan itu memberikan kesempatan bagi pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Ki Hajar Dewantara menciptakan semboyan yang terkenal. Tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Baca: Kesaksian Pembeli Pertama Orang yang Membeli Robot Seks, Disebut Duda dan Orang Cacat Terbanyak
Banyak yang tidak mengetahui, namanya diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, potret Ki Hajar Dewantara diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.
Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959. Itu berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Pada 1913, dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Mendirikan Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Ganti Nama Pada Usia 40
Saat berusia 40 tahun, menurut hitungan penanggalan Jawa, dia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Baca: 7 Hal Penting Terkait Kartu SIM Prabayar Belum Diregistrasi, Perhatikan!
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada.
Suwardi Suryaningrat meninggal dunia di Yogyakarta, pada 26 April 1959. Doa dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Baca: Paling enak itu kalau sudah pake daster Wajah Dewi Perssik Tanpa Make Up
Baca: Wajar Puluhan Miliar per Bulan! Merinci Pemasukan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina Yang Moncer
Baca: Pengumuman Kelulusan SMA 2018 Hari Ini Kemendikbud Sudah Serahkan Hasil UN 30 April