Kisah Para Tukang Perahu Ketek di Tanggo Rajo, Setengah Hidupnya Dihabiskan di Atas Perahu Bermesin
Perahu bermesin itu akan membawa orang-orang mengarungi sungai Batanghari, menikmati ombak dan percikan air.
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: bandot
Memang, selain ketek, di Jambi juga masih ada perahu dayung.
Tapi ketek tetaplah menjadi transportasi yang disenangi.
"Kadang itu, tidak cuma untuk menyeberang. Ada juga yang untuk jalan-jalan. Macam di Ancol ini kan, tiap hari ada saja yang datang, naik ketek," ujarnya.

Disampaikannya, mereka sekadar rekreasi, menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau pasangan.
Udin menceritakan, penghasilan mereka tidak pasti. Kadang, kalau sedang ramai, mereka bisa pulang-pergi 4-5 kali. Kalau sedang sepi, bahkan mereka bisa hanya berputar 1-3 kali saja.
"Di sini sistemnya antre. Dari jam empat pagi (dinihari, red), sampai jam empat sore. Nanti ada lagi dari jam empat sore, sampai jam empat pagi. Itu berputar-putar terus, ganti-gantian," katanya menjelaskan.
Dalam sekali jalan, mereka bisa memperoleh hasil sekitar Rp 10-20 ribu untuk sekali penyeberangan. Untuk berwisata, merek bisa memperoleh Rp 50-100 ribu. Dari sanalah mereka mengais rezeki.
"Sekali menyeberang, dapatlah. Kalau wisata lain lagi. Kadang ada yang nego, tergantung kesepakatanlah. Kalau ada yang tambah, syukur. Yang penting halallah, daripada kerja yang tidak jelas," tuturnya.
Sungai Batanghari menjadi tempat yang berkah bagi mereka dalam mengais rezeki.
Dari langit, suara burung-burung berkicau samar-samar terdengar.

Deru angin berpadu dengan suara mesin ketek, berlabuh ke seberang kembali ke seberang yang lain.
Jika hujan, rintik-rintik akan langsung jatuh di kulit, terasa dingin. Pemandangan rintik-rintik di luasnya sungai terlihat.
Jika panas, kulit mereka tak lekang. Sinar matahari memantul di air, menciptakan koreografi cahaya nan elok nian.
Dari tepian ke tepian itulah mereka berlabuh. Hari-hari berlalu, menjadi cerita yang akan selalu dikenang, dan disaksikan.