Dosen Ini Diprotes Mahasiswa karena Memberi Nilai C, Ia Memberi Jawaban 'Menawan' Lewat Status Line

Seberapa pun cerdasnya kita, namun jika tugas sekolah atau kuliah jarang dikerjakan, guru atau dosen tidak akan segan-segan memberi nilai jelek.

Penulis: Efrem Limsan Siregar | Editor: Fifi Suryani

TRIBUNJAMBI.COM - Seberapa pun cerdasnya kita, namun jika tugas sekolah atau kuliah jarang dikerjakan, guru atau dosen tidak akan segan-segan memberi nilai jelek.

Apalagi, setiap pengajar mempunyai standar berbeda-beda dalam memberi nilai.

Ada yang baik, toleran bahkan terbilang 'sadis' dalam memberikan nilai kepada mahasiswa.

Baca: 1.000 Warga Muarojambi Dapat Jaminan Kesehatan Gratis dari Pemkab, Pendataan Sedang Dilakukan

Tapi, pengajar juga mempunyai tanggung jawab dalam memberikan nilai.

Jangan sampai nilai tinggi yang diberikan tidak sebanding dengan kapasitas dan kemampuan yang kalian peroleh.

Seorang dosen di salah satu Universitas menceritakan pengalamannya dalam memberikan nilai 'jelek' kepada mahasiswa.

Dalam status yang dituliskan akun @Mahdarena di pesan instan LINE, Kamis (11/1/2018), Siti Julaihah FD, nama dosen tersebut, mengaku diprotes oleh mahasiswanya karena mendapat nilai C.

Padahal, mahasiswa tersebut selalu hadir dalam perkuliahan, selalu mengumpulkan tugas, dan mengikuti ujian.

Namun Siti mempunyai alasan mengapa dia harus memberikan nilai C kepada mahasiswa.

Baca: Raskin Tak Dipungut Biaya Lagi, Jika Ada yang Mungut Lapor ke Sini

Baca: Bikin Bulu Roma Bergetar! Seekor Ular Tiba-Tiba Muncul di Depan Jendela Mobil. Diduga Sembunyi

Menurutnya, mahasiswa lebih baik mendapat nilai biasa namun sebaliknya dia punya skill luar biasa.

Pendidikan di lingkup perguruan tinggi, tulis dalam status tersebut, harus mengutamakan kemampuan, keilmuan, keahlian, bukan hanya membanggakan nilai.

"Jangan sampe kampus-kampus tempat mencetak agent of change malah ikutan industri makanan dan minuman, judulnya aja "sari jeruk" tapi cuma air diwarnai dan ditambah perasa. Gelarnya aja sarjana, tapi dituntut skill cuma melongo," tulis akun Mahdarena.

Berikuti kisah selengkapnya.

Nilai untuk Mahasiswa.

Tanda2 akhir jaman kali ya, ada mahasiswa protes pada sy gara2 sy kasih nilai C.

Protes krna merasa selalu masuk, selalu mengumpulkan tugas, dan ikut ujian.

Bagi dosen, memberi nilai A atau B itu gampang, tapi nantinya akan jadi beban jika ternyata kemampuan mahasiswa nggak singkron antara nilai di atas kertas dg keilmuannya.

Bagaimana kita mempertanggungjawabkan nilai2 yg begitu bombastis dg keahlian saat memasuki dunia kerja.

Ada teman sy yg suka memberi nilai A, semua mahasiswa yg ikut mata kuliahnya diberi nilai A.

Dia menjelaskan ke mahasiswanya bahwa nilai A itu biar jadi beban moral setelah lulus nanti.

Dengan nilai bagus, mahasiswa harus mengupgrade skillnya supaya sesuai dg nilai di atas kertas.

Jadi, pemberian nilai A bagi teman sy bukan karena penghargaan, tapi sebagai pecutan bagi mahasiswa; nilaimu sebagus itu kamu bisa apa?

Beda dosen beda kebijakan. Sy nggak bisa memberi nilai seragam, harus ada bedanya antara mahasiswa cerdas, kreatif, dan rajin, dengan mahasiswa yg hanya rajin tapi nggak cerdas apalagi kreatif.

Apa gunanya dunia akademik jika bukan utk mengukur inteligensi.

Dulu saat kuliah S1, sy pernah dpt nilai D, padahal sy selalu masuk, tapi memang tugas2 dikerjakan alakadarnya dan ujian gak belajar sama sekali karena sibuk organisasi dan sibuk pacaran.

Saat kuliah S1 itu sy termasuk mahasiswa rajin tapi nggak cerdas apalagi kreatif, wajar dapet nilai D.

Sakit hati memang dapet nilai jelek, tapi itu yg harus sy telan, dan sy nggak berani protes ke dosen, cuma bisa mewek di kos-kosan.

Ketika sy dapet kesempatan melanjutkan studi S2, dua semester berturut-turut nilai sy A semua, otomatis IPK 4. Di akhir masa kuliah ada nilai B tapi cuma satu, puncaknya nama sy disebut sebagai lulusan terbaik di upacara yudisium.

Kalo ada teman atau sodara yg bilang hebat ya nilaimu bagus, sy selalu jawab, profesor sy ngantuk waktu nyatet nilai sy, niatnya ngasih B atau C malah yg kecatet A.

Sy juga ingin protes ke dosen2 sy yg bergelar doktor, Ph.D, dan profesor, kenapa ngasih nilai A semua, cuma satu B-nya.

Sy ingin protes karena merasa nggak layak, sy merasa bodoh, nggak kuat nanggung beban seberat itu.

Pertanyaan yg baik itu bukan berapa nilaimu, tapi apa skillmu?

Nilainya bagus tapi o'on kaya sy, mending nilai biasa2 tapi skillnya luar biasa.

Pendidikan di lingkup perguruan tinggi harus mengutamakan kemampuan, keilmuan, keahlian, bukan cuma membanggakan nilai.

Saat ini lebih marak minuman rasa jeruk dibanding air jeruk beneran, makanan rasa sapi dibanding daging sapi sungguhan.

Jangan sampe kampus-kampus tempat mencetak agent of change malah ikutan industri makanan dan minuman, judulnya aja "sari jeruk" tapi cuma air diwarnai dan ditambah perasa.

Gelarnya aja sarjana, tapi dituntut skill cuma melongo.

Siti Julaihah FD

Semarang, 10 Januari 2018

MAHDALENA
Tangkapan layar status akun Mahdarena (LINE)

Baca: Ringankan Biaya Rumah Tangga Melalui Peningkatkan Ekonomi Kawasan Pangan Lestari

Baca: 11 Tahun Menikah, Pasangn Obesitas Ini Akhirnya Bisa Berhubungan Intim. Rasanya. . .

Baca: Lihat ini Wahai Wanita, Tolaklah Pernikahan di Usia Muda Bila Tidak Ingin Seperti ini

Postingan ini telah dibagikan sebanyak lebih dari 4,8 ribu kali.

Sebagaian besar warganet sepakat dengan penjelasan dosen tersebut.

Menurut, akun Wisnu Dharmesa nilai atau IPK tidak bisa menilai karakteristik, dedikasi, keteguhan dan loyalitas seseorang.

Namun akun rizki damanik justru berpikir sebaliknya.

Ia menilai, saat ini banyak perusahaan, bahkan PNS yang mempersyaratkan lulusan IPK cumlaude atau IPK minimal 3,25.

"lain dosen..lain org nya..smg yg dpt nilai tdk kecil hati..jdkan cambuk..syukur nanti jd. org hebat bkn krn nilai," tulis akun sarah husin.

"Nilai memang menentukan pekerjaanmu tapi tidak menentukan pilihan masa depanmu. Kamu lulus 3.5 tahun dengan IPK 4 namun bingung mau melakukan kegiatan atau mengikuti pekerjaan apa sedangkan orang yang kita sering katakan lulus 5-7 tahun mayoritas lebih matang dalam melihat dunia.

Penilaian IP dan IPK bisa dikatakan sudah seharusnya dimasukin museum karena Nilai tidak bisa menilai karakteristik, dedikasi, keteguhan dan loyalitas seseorang sedangkan apabila kita mengikuti pasar (bagi yang liberalis dan kapitalis) yang dibutuhkan ialah hard worker, kompeten dan bisa dipercaya (layaknya buruh berkerah lainnya) Jadi cukup menerima diri sendiri apa adanya, kamu kuliah tidak hanya mempelajari mata kuliahmu saja tapi belajar estetika, etika, moralitas dan realitas dalam dunia nyata secara berlahan-lahan," tulis akun Wisnu Dharmesa

tahapan dlm proses lamaran kerja pun dimulai dari Administratif yg di dlmnya mempersyaratkan IPK. jk tdk sesuai dgn syarat (khususnya syarat IPK) yg dimaksudkan ya sipelamar akan gagal tdk peduli seberapa tinggi keahilan/skill yg dimilikinya. dan pd intinya milikilah IPK/Nilai yg tinggi dan miliki skill yg baik dan jgn lupakan attitude," tulis akun rizki damanik.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved