Rekaman Video Rapat dengan KPK Diputar di MK Eh DPR Malah Tidak Hadir
Sidang uji materii terkait hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (11/10/2017), mengagendakan mendengar
Baca: Ungkap Kasus Narkoba, Polres Batanghari Amankan Paket Sabu Dalam Sebungkus Rokok
Baca: ASN Kabur Saat Razia, Obliyani: Seharusnya Beri Contoh Bukan Malah Melanggar Lalu Lintas.
"Saya tidak bisa karena ada Raker dengan Jaksa Agung," kata Arsul melalui pesan singkatnya, Rabu.
Dalam sidang kali ini, pemohon mengajukan alat bukti berupa beberapa potongan video ketika rapat antara DPR dan KPK digelar beberapa waktu lalu.
Salah satu poin yang disoroti yakni desakan untuk membuka rekaman Miryam S Haryani.
Durasi video sekitar satu jam tiga puluh menit.
Meskipun yang diputar dalam sidang hanya beberapa potongan video, namun pemohon juga akan menyertakan video serta transkrip utuh kepada Mahkamah.
Adapun, tujuan pemutaran video untuk menjelaskan kepada hakim konstitusi bahwa dalam rapat tersebut DPR telah mengancam menggunakan kewenangannya terhadap KPK, dalam hal ini kewenangan hak angket.
"(Di salah satu rekaman, -red) Di menit 16 sampai dengan selesai, menjelaskan ancaman anggota dewan untuk menggunakan hak angket dan lain-lain dalam upaya meminta rekaman miryam S Haryani," kata salah seorang pemohon kepada ketua MK, Arief Hidayat, di persidangan.
Permohonan pengujian materiil terkait hak angket diajukan oleh sejumlah pihak di antaranya, permohonan nomor perkara 40/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh beberapa pegawai KPK.
Kemudian, permohonan nomor perkara 47/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK.
Selain itu, pemohon dengan nomor perkara 36/PUU-XV/2017, yakni gabungan mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum yang menamakan dirinya sebagai Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, serta pemohon dengan nomor perkara 37/PUU-XV/2017, yakni Direktur Eksekutif Lira Institute, Horas AM Naiborhu.
Secara umum, para pemohon mempersoalkan batas kewenangan hak angket DPR.
Menurut para pemohon, ketentuan hak angket yang tertuang dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya bisa ditujukan terhadap pemerintah, bukan KPK.
Sebab, KPK merupakan lembaga negara atau lembaga independen. Oleh karena itu, tidak bisa dikenakan hak angket.