EDITORIAL
Imbas Karut Marut PPDB
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA di Provinsi Jambi yang telah berlalu masih menyisakan
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA di Provinsi Jambi yang telah berlalu masih menyisakan masalah. Kondisi ini menjadi gambaran bahwa peralihan kewenangan pengelolaan SMA sederajat dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi masih perlu pembenahan di sana sini.
Sedari awal, proses seleksi yang digadang-gadang berdasarkan zonasi akhirnya tak seperti yang dipahami masyarakat. Nyatanya, kriteria utama masih mengacu pada nilai calon siswa.
Padahal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB, napasnya adalah mendorong terwujudnya pemerataan kualitas sekolah melalui sistem zonasi.
Bahkan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Hamid Muhammad menyatakan PPDB tahun 2017, urutan zona lebih diprioritaskan daripada nilai hasil ujian. Namun realisasinya tak seperti yang disampaikan Dirjen Dikdasmen.
Protes warga yang tinggal dekat sekolah karena anaknya tak diterima pun bermunculan. Walhasil, atas riak-riak ini dibukalah gelombang PPDB kedua. Bahkan Pemerintah Provinsi Jambi gerak cepat mempersiapkan sekolah baru, yakni SMAN 12 Kota Jambi. Ini diharapkan mampu menampung siswa ke sekolah negeri yang tak tertampung di gelombang pertama.
Namun, karut marut PPDB ini tak juga sirna hingga kini. Nyatanya, di SMAN 11 Kota Jambi, orangtua siswa ditarik uang sekitar Rp 300 ribu. Uang ini dimaksudkan untuk membeli bangku lantaran, sekolah kekurangan tempat duduk.
Pasalnya SMAN 11 menerima tambahan siswa dari seharusnya hanya 7 kelas menjadi 9 kelas. Itu sesuai intruksi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi agar sekolah harus menampung kembali siswa dengan jalur lingkungan.
Tentu, pungutan ini walau terdengar logis namun telah menciderai pendidikan. Bahkan proses PPDB itu sendiri seakan menyelisihi Permendikbud. Apapun alasannya, tentu praktik ini tidak dibenarkan. Pasalnya menimbulkan hak dan kewajiban yang berbeda antar orangtua siswa. Jangan-jangan praktik serupa juga terjadi di sekolah lain? (*)