Kembalinya Anak dari Timor Leste yang "Diambil Paksa" TNI
Makam Alberto Muhammad ada di Timor Leste, tapi dia belum meninggal dunia. Dia masih bernyawa dan kini tinggal di Jawa Barat, Indonesia.
Alfredo Reinado, yang berupaya melancarkan kudeta di Timor Leste pada 2008, direkrut militer Indonesia ketika dia berusia 11 tahun. Alfredo dibawa seorang perwira ke Pulau Jawa. Alfredo belakangan tewas ketika berusaha mengudeta dan membunuh Presiden Xanana Gusmao.
Salah seorang anak adalah Hercules, sosok yang dikenal di Jakarta lantaran menjadi pimpinan kelompok preman dan kini dipenjara.
Sosok lainnya aktif di dunia olah raga tinju dan menjadi bintang televisi di Indonesia. Namun, banyak pula yang tidak mengenyam pendidikan formal dan bersusah payah mendapat pekerjaan.
Perjalanan pulang yang berliku
Pada 2008, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia dan Timor Leste merekomendasikan pembentukan komisi pencari orang hilang, termasuk anak-anak yang terpisah dari keluarganya selama konflik berlangsung.
Akan tetapi, hingga kini tiada langkah nyata yang diterapkan.
"Ini adalah isu yang sensitif. Sudah delapan tahun dan tak banyak yang tercapai, dan apa yang Indonesia lakukan adalah di luar mandat," kata Jacinto Alves salah satu komisioner dari Timor Leste.
Pria yang bertanggung jawab menindaklanjuti respons Indonesia terkait rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan adalah Wiranto, orang yang didakwa melakukan kejahatan di Timor Leste oleh panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagai panglima TNI saat itu, dia disebut secara eksplisit oleh PBB terkait pertumpahan darah yang menewaskan 1.000 orang.
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang berada di bawah Wiranto menolak permintaan BBC untuk wawancara mengenai Timor Leste. Wiranto juga tidak merespons permintaan wawancara.
Meski komisi pencari orang hilang tidak dibentuk, Kementerian Luar Negeri RI mendukung acara reuni di Timor Leste dan menyediakan dana agar Alberto Muhammad dan anak-anak hilang lainnya bisa ambil bagian dalam reuni tersebut. Para peserta dibantu untuk mendapatkan paspor dan beberapa orang mendapat uang untuk tiket perjalanan pulang.
Direktur Hak Asasi Manusia di Kementerian Luar Negeri RI, Dicky Komar, mengatakan bantuan dan sokongan itu dilakukan dengan semangat "rekonsiliasi". Namun, Indonesia berkeras menyebut mereka sebagai "anak-anak terpisah", alih-alih diambil secara paksa dari keluarga masing-masing.
"Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, tapi dalam tahap ini saya tidak bisa merinci lebih jauh. Anda menyampaikan pertanyaan yang sangat sulit," kata Dicky Komar ketika ditanya bagaimana anak-anak itu terpisah dari keluarga mereka.
"Saya paham bahwa pemerintah menggunakan istilah yang sedikit berbeda, namun secara keseluruhan idenya adalah rekonsiliasi. Saya paham dimensinya berbeda, namun yang kami lihat adalah anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka untuk alasan berbeda. Kini kami menatap rekonsiliasi dan itu berarti kita akan menyebut mereka sebagai anak-anak terpisah."
"Rekonsiliasi adalah proses yang terus berlangsung. Ada banyak yang telah dicapai dalam artian kebenaran dan persahabatan. Namun, sejujurnya, ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Reuni ini adalah bagian dari pekerjaan itu. Untuk keuntungan hubungan baik antara kedua negara, kami perlu memandang ke depan. Hubungan kami sangat baik saat ini dan Presiden Joko Widodo telah sukses melakukan kunjungan ke negara itu awal tahun ini," kata Dicky.
Pemerintah Timor Leste menyambut baik kembalinya anak-anak yang hilang dan menawarkan mereka dwikewarganegaraan. Namun, Indonesia tidak mengenal konsep dwikewarganegaraan.
Kembali dari kematian
Keluarga Alberto sejatinya sudah patah arang soal nasibnya. Mereka berasumsi Alberto telah dibunuh oleh militer Indonesia atau kelompok prokemerdekaan Timor Leste. Agar bisa berdamai dengan masa lalu, mereka membuat makam untuk Alberto.
"Rohnya telah mati. Menurut tradisi kami, dia sudah bersatu dengan para nenek moyang. Karena itu, kami perlu memanggil rohnya untuk dipersatukan lagi dengan tubuhnya. Dia seperti terlahir kembali," kata adik perempuan Alberto, Markita Ximenes.
Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun. Dia juga sekarang memeluk agama Islam.
"Mereka semua telah menjalani hidup yang sangat sulit. Mereka telah gigih sepanjang hidup dan kini mereka harus berjuang untuk mengembalikan kepercayaan dan klop dengan kehidupan keluarga. Saya kasihan dengan mereka," kata Isabelina
Beberapa di antara anak yang hilang kembali ke Timor Leste dan menyadari bahwa ibu atau ayahnya telah tiada.
"Kecuali menggunakan mesin waktu, kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mengisi kekosongan dalam hidup anak-anak yang hilang…Namun ada kesempatan untuk memperbaiki yang rusak. Hanya saja, waktu yang tersisa cukup pendek," kata Galuh Wandita.
Pada hari terakhir kami di Timor Leste, Alberto membawa saya ke kuburannya di hutan dekat desanya di Distrik Laga. Makam itu terletak di bagian orang-orang penganut anismisme.
Nisan yang melambangkan roh Alberto bersatu dengan nenek moyang telah dibuang ke tanah.
"Ini membuat saya bahagia, betul-betul bersyukur. Saya punya kuburan di sini tapi sekarang keluarga saya telah mengembalikan saya dari kematian," tutupnya.
Sumber : BBC Indonesia