Melawan Stigma PKI, Film Pendek Karya Pelajar Asal Rembang ini Akan Go Internasional
TRIBUNJAMBI.COM - Dua film pendek berlatar peristiwa 1965 besutan dua pelajar asal SMAN 1 Rembang, memenangi Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Tak hanya itu, CLC Purbalingga meminta izin ke pengelola Museum Jenderal Soedirman agar dibolehkan memakai aula.
“Yuk, kita pengajuan ke dinas, untuk memakai Monumen Jenderal Soedirman. Karena di situ kan ada aula. Sedangkan kami membutuhkan ruang tertutup. Kerena kadang materi yang disampaikan juga membutuhkan ruang tertutup karena menggunakan slide. Butuh nonton film, butuh slide. Jadi tidak mungkin selalu di luar. Akhirnya saya mengajukan, ‘Pak, ini dibutuhkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan sampi kapan, karena sekolah juga dalam kondisi tidak membolehkan, sehingga membutuhkan kebijakan,” jelas Bowo.
Film besutan Ilman dan Raeza diproduksi pada April lalu, sekira dua hari. Selang sebulan, film itu diikutkan dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Hingga pada 8 Oktober lalu, pihak AFI 2016 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia, mengumumkan; film karya Ilman dan Raeza, jadi juaranya.
Film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ menyabet predikat film terbaik katagori film dokumenter pendek tingkat pelajar dan mahasiswa.
Sedangkan film ‘Izinkan Saya Menikahinya’ karya Ilman Nafai, menjuarai film fiksi pendek tingkat pelajar dan mahasiswa.
Malah, sebelumnya dua film itu juga juara di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2016.
Sialnya, prestasi menterang itu tak membuat sekolah bangga. Kepala Sekolah SMAN 1 Rembang, Purwito mengaku tak perlu mengirim perwakilan ke acara AFI 2016 di Manado itu. Ia beralasan, film tersebut tidak diatasnamakan sekolah.
“Hari Sabtu, 8 Oktober, dua anak itu memohon izin ke sekolah, bahwa yang bersangkutan mendapatkan undangan. Undangannya juga atas nama yang bersangkutan, tidak ada tembusan untuk sekolah. Sekolah mengeluarkan izin atas permohonan siswa. Intinya seperti itu. Nah, sekolah tidak mengutus perwakilan, karena memang bukan perwakilan sekolah,” kata Purwito.
Dan meski sudah mengantongi banyak penghargaan, pihak sekolah, kata Purwito, belum terpikir menghidupkan ekskul sinematografi.
“Kalau bahasan itu tentu saja, manajemen tentu akan berfikir untuk semuanya. Saya belum bisa jawab sekarang. Dan saya, nyuwun sewu, bukan kapasitas panjenengan untuk bertanya soal itu. Dan saya tidak bisa bicara, karena semua top manajemen. Kita ada tim pengembang sekolah, dan seterusnya. Yang tentunya, semua keputusan yang diambil itu harus dirembuk. Kita analisa SWOT semuanya,” jelasnya.
Sementara itu, Bowo Leksono yang juga guru pembimbIng ekstrakurikuler sinematografi di SMAN 1 Rembang, menyayangkan sikap sekolah yang mematikan ekskul sinematografi.
Sempat juga ia menanyakan keputusan itu, tapi tak ada jawaban lugas.
“Bikin film kan bolos, itu kan. Hanya surat orang tua. Surat apalagi? Masa harus surat dokter. Namanya juga sedang bikin film. Lalu orang tua dipanggil Saat dikumpulkan, kepala sekolahnya malah keluar. Yang menemui, wakil kepala sekolah yang disuruh bicara. Ketika kami tanyakan kenapa ekskul ditutup, jawabannya, ‘Ya, itu rahasia kami’. Nah, itu efek setelah itu. Pasca itu kan kami sedang bikin film yang BNN itu kan. Jadi ambil satu hari, yang tidak mungkin hari Minggu,” bebernya.
Bowo meyakini, keputusan menghentikan ekskul itu, karena ada tekanan dari tentara. Sebab, beberapa kali sekolah disambangi aparat.
Ia juga bercerita, sekolah lain yang ia ajar juga ‘dipesani’ kepala sekolah agar tak memproduksi film yang kontroversial, utamanya terkait PKI.
Agar kreatifitas pelajar di sini tak padam, Komunitas Film CLC Purbalingga bersama Ilman dan Raeza, bakal menggunakan uang dari AFI 2016 untuk membeli alat produksi film.
“Anak-anak yang menang, pasti beli alat. Kedua, yang sedang kita wacanakan itu untuk membantu program pemerintah itu, RTLH. Jadi beberapa alat itu kan, ditempatkan di sini. Agar teman-teman SMA lain yang belum punya alat itu bisa memakai. Jadi setiap tahun, sekolah yang kurang itu tidak bingung, karena disuport sekolah lain. Yang itu dibeli dari hasil mereka juara, bukan dari anggaran sekolah ya,” jelas Bowo.
Sementara itu, film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ dan ‘Izinkan Saya Menikahinya’ belum akan dibuka ke publik. Hanya dikecualikan jika untuk riset atau diskusi. Dengan syarat, ada pengajuan tertulis. Sebab, dua film ini akan dikompetisikan di festival film kelas dunia.