Melawan Stigma PKI, Film Pendek Karya Pelajar Asal Rembang ini Akan Go Internasional
TRIBUNJAMBI.COM - Dua film pendek berlatar peristiwa 1965 besutan dua pelajar asal SMAN 1 Rembang, memenangi Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
“Yang jelas, pada tahun ajaran baru 2016/2017 ini tidak masuk program. Kalau tidak salah (sudah dibekukan) Maret 2016. Kemudian, saya yakin, Anda akan bertanya ‘Lho, kenapa demikian?, Saya jawab bahwa persoalan manajemen itu yang harus dihargai,” tukas Purwito.
Kala didesak, apakah keputusan penghentian ekskul terkait dengan kedatangan Komandan Komando Distrik Militer Purbalingga dan Wakil Polres Purbalingga, Purwito tak menjawab tegas.
“Kalau tamu biasa. Ya pernah, tetapi tidak ada kaitan dengan menutup dan segala macam. Nggak ada kaitannya. Yang jelas, kalau bicara khusus (soal film berlatar 65) pernah juga,” jelasnya.
Tak hanya sekolah yang disambangi tentara dan polisi. Ilman mengaku pernah ditanyai seputar film yang dibuatnya.
“Pernah didatangi di sekolah, itu karena mungkin ada triller filmku, ada kata-kata ‘Suharto itu bukan manusia’, mungkin kerena itu ya. Karena belum tahu dalamnya, terus berfikir, ‘Wah, ini film parah nih, bahaya’. Artinya aku didatengin, ditanya ‘Apa kamu bener sutradaranya?’, Saya jawab ‘Iya’. Terus ditanya, ‘Kamu bikin film karena ingin atau sedang marak film beginian’,” ungkap Ilman.
Lantas, bagaimana proses pembuatan kedua film tersebut?
Memboyong Film ke Internasional
Raeza Raenaldy dan Ilman Nafai, adalah dua pelajar di SMAN 1 Rembang. Nama keduanya melambung pasca memproduksi dua film berlatar peristiwa 1965; Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! dan Izinkan Saya Menikahinya.
Bahkan, film tersebut menyabet penghargaan di ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Ilman Nafai bercerita, mulanya ia dan Raeza melakukan riset di komunitas Sekretariat Bersama (Sekber) 65. Di sana, ia diceritakan kisah-kisah para penyintas.
Dari situ, ia akhirnya tertarik memfilmkan tiga anggota Cakrabirawa, pasukan elit pengawal Presiden Sukarno; Sulemi, Iskak, dan Masruri.
Hanya saja, saat proses produksi berjalan, Ilman dan Raeza sempat disambangi tentara. Tapi, Ilman mengaku cuek saja. Toh menurutnya tak ada satu pun dalam filmnya yang mempromosikan paham komunis.
“Kebetulan aku bikin film itu sebelum marak juga kan. Sedangkan film ku itu sama sekali tidak mempromosikan komunis. Justru sisi lain. Cuma ngomongin, kalau mereka salah, terus bagaimana lagi. Padahal, komunis itu kan sudah tidak ada. Sudah jelas tidak ada,” ujar Ilham.
Sandungan lain yang dihadapi dua pelajar itu, saat sekolah tak mendukung; baik dana dan peralatan.
Beruntung karena Komunitas Film CLC Purbalingga, bersedia meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan keduanya.