EDITORIAL
Si Loreng yang Menggoda
SAMPAI sekarang praktik penangkapan (berburu) satwa liar yang dilindungi undang-undang masih berlangsung di Jambi. Terbukti selama satu
SAMPAI sekarang praktik penangkapan (berburu) satwa liar yang dilindungi undang-undang masih berlangsung di Jambi. Terbukti selama satu tahun belakangan sejumlah pelaku, dan penadah satwa liar maupun barang hasil offsetan dicokok tim gabungan Polda Jambi, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Nilai ekonomisnya yang tinggi dan sangat menggiurkan tentu saja menggoda pihak-pihak tertentu (ada juga dari oknum aparat) untuk berburu satwa dimaksud. Catatan yang ada, satwa yang diburu kebanyakan Harimau, Gajah, Macan Tutul, dan Rusa. Hampir semua yang ada pada satwa bernilai ekonomis. Dari kulit, taring, gading hingga tulang belulang untuk ramuan obat- obatan.
Dan sangat disayangkan, praktik perburuan satwa yang selanjutnya dijadikan offsetan tadi tidak saja dari kalangan warga biasa melainkan melibatkan oknum-oknum tertentu yang notabene "melek" hukum. Tapi yang kerapkali terjaring adalah warga biasa yang justru tidak tahu menahu terkait undang-undangan tentang konservasi sumber daya alam (KSDA).
Kulit si Raja Hutan memang berharga mahal. Sebagai contoh, satu lembar kulit si loreng bisa diharga Rp 30 juta hingga Rp 50 juta (dalam kondisi bagus, tidak koyak). Nah, dari sini sang penadah menjual lagi kepada perajin offsetan untuk dijadikan Harimau offsetan yang bisa dipajangan untuk hiasan.
Asal tahu saja, satwa hasil offsetan tadi dibeli oleh para orang-orang berduit bahkan sering dijadikan cinderamata untuk pejabat tinggi misalnya. Tidak jarang di antara kita pernah melihat pajangan offsetan satwa dimaksud di rumah pejabat, dan pengusaha. Selain Harimau, kita terkadang melihat tanduk rusa dipajang di dinding rumah atau ruang kantor.
Ini yang dimaksud orang-orang mengerti hukum, tapi justru menabrak "rambu-rambu" hukum tersebut. Nah, pemilik offsetan yang seperti inilah hingga sekarang belum tersentuh aparat tim gabungan. Padahal kalau tim mau bekerja ekstra tidak mustahil bisa mengungkap ini semua, sehingga mata rantainya bisa diputus. Karena selama ini yang ditangkap dari kalangan rakyat jelata yang mengaku menjadi pesuruh.
Penangkapan Muhammad Nasution (49) dan Warsilah (45) di kediamannya di Lorong Haji, RT 05, No 28, Kelurahan Wijayapura, Kecamatan Jambi Selatan, patut juga kita beri acungan jempol. Walaupun belum menyentuh akar masalah, tapi jika tim jeli dari sini bisa membongkar sindikat perburuan dan usaha offsetan satwa liar yang dilindungi. Karena tak sedikit seperti Gading Gajah, dan kulit Harimau sudah menjadi offsetan dimiliki pejabat tinggi dan pengusaha terkenal di Provinsi Jambi.
Terkait penangkapan suami istri tadi menurut, Kapolda Jambi Brigjen Pol Yazid Fanani kedua tersangka melanggar pasal 40 ayat 2 jo pasal 21 ayat 2 huruf B, UU RI No 5 tahun 1990 tentang KSDA dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
UU tentang KSDA ini diakui belum familiar di telinga awam. Perlu lebih intens lagi dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama yang berada di pedesaan. Mungkin saja selama ini mereka menganggap tidak ada persoalan melenyapkan si loreng di ujung bedil. Setop berburu adalah dua kata paling ampuh untuk menyelamatkan satwa dilindungi. (*)