Soimah Kehilangan Ayah, Ibu, dan Adik
Suara tangis menggema saat empat jenazah tiba di Masjid Al-Ikhlas Desa Sukandebi, Kecamatan Namanteran,
TRIBUNJAMBI.COM, MEDAN - Suara tangis menggema saat empat jenazah tiba di Masjid Al-Ikhlas Desa Sukandebi, Kecamatan Namanteran, Tanah Karo, Minggu (22/5) sore. Keempat jenazah itu masih punya hubungan keluarga.
Empat jenazah tersebut merupakan pasangan suami istri Ibrahim Sembiring (51) dan istrinya Nani Beru Sitepu (50) serta putra bungsunya Irwansyah Sembiring (17). Kemudian, satu keluarga lagi Karman Sembiring.
Soimah anak pasangan Ibrahim dan Nani tak kuasa membendung kesedihan. Suara tangisnya pecah di pelataran Masjid Al-Ikhlas. Berulang kali, dia mengucapkan hafal Alquran.
"Ya Allah, mana orangtuaku? Allah. Kuatkan hambahMu ini. Nande ras Bapa sudah tiada," katanya sambil memegang balita perempuan.
Melihat kesedihan Soimah, seorang perempuan paruh baya pun langsung memegang anak balita Soimah. Setelah itu, Soimah berlari ke arah keranda ayah, ibu dan adiknya.
"Adek, Allah, ya Allah. Aku tak kuat, maafkan kami," katanya menggunakan bahasa Karo.
Sedangkan, Samsul Sembiring, anak pertama Ibrahim dan Nani, terlihat meneteskan air mata. Berulang kali, ia berbincang dengan kerabat sembari mempersiapkan air dan tempat mandikan jenazah.
Beberapa kerabat yang melayat terlihat memeluknya sembari mengucapkan bela sungkawa. Bahkan, kerabat lainnya turut membantunya menyiapkan proses memandikan jenazah.
Keempat jenazah tersebut dikebumikan secara bersamaan. Proses pemakaman dilakukan selepas Salat Asar. Semua jenazah dikebumikan berdekatan.
Defalina Beru Sitepu, keluarga Ibrahim, menceritakan, saat awan panas meluncur dari Gunung Sinabung, Ibrahim bersama keluarganya berupaya menyelamatkan diri.
"Namun, mereka sekeluarga tidak sempat lari. Kebetulan mereka berteduh di rumah, karena hujan. Memang setiap pagi mereka ke ladang. Jadi, anak Pak Ibrahim ada lima, namun yang belum berkeluarga hanya Irwansyah, anak terakhirnya," ujarnya.
Ia menambahkan, kediamannya dengan keluarga Ibrahim berdekatan. Saban hari mereka berjumpa di ladang.
"Kalau dulu, masih di kampung jarak rumah kami berdekatan. Namun setelah pindah kontrak rumah agak jauh. Jadi, kami jumpa kalau di ladang. Bahkan, pagi sebelum kejadian kami jumpa," katanya.
Ia bercerita, peristiwa meluncurkan awan panas sangat mengerikan. Tatkala melihat luncuran awan panas pertama, sekitar pukul 14.30 WIB, ia langsung pulang dari ladang bersama suami dan anak-anaknya.
"Pagi itu, saya ke ladang waktu luncuran awan panas pertama, tapi saya langsung pulang. Ngeri kali enggak terhitung suara gemuruh. Jadi, begitu saya lihat sudah ada aktivitas gunung, saya langsung ajak keluarga pulang," ujarnya.