Prahara Partai Golkar

Islah tak Berujung, Berpotensi Melahirkan Konflik Baru yang Makin Luas

ISLAH Partai Golkar, telah memberikan cek kosong kepada KPU untuk menentukan sendiri siapa wakil Partai Golkar

Editor: Rahimin
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
Sekjen versi Bali Idrus Marham Ketua Umum Golkar versi Munas Ancol Agung Laksono, Mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dan Ketua Umum Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie saat berjabat tangan seusai melakukan prosesi penandatanganan kesepakatan bersama islah terbatas partai golkar di Rumah Dinas Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Sabtu (30/5/2015). Kesepakatan tersebut berisi empat poin untuk menengahi dualisme kepemimpinan Partai Golkar dalam menentukan Calon Kepala Daerah yang diusung Golkar pada Pilkada mendatang, sedang proses hukum perselisihan Pimpinan Partai tetap berjalan. 
Penulis: Petrus Selestinus Advokat dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia ISLAH Partai Golkar, telah memberikan cek kosong kepada KPU untuk menentukan sendiri siapa wakil Partai Golkar dari dua kubu (kubu ARB dan kubu AL) yang bersengketa yang sah mewakili DPP Partai Golkar, dalam pilkada mendatang. Butir ke 4 islah Partai Golkar yang menyerahkan penilaian kubu mana yang sah bertindak mewakili Partai Golkar kepada KPU, akan membawa konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi KPU dan para peserta pilkada, mengingat kewenangan menentukan kepengurusan kubu mana yang sah, masih di tangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Pengadilan banding. Oleh karena itu menyerahkan kewenangan menentukan kubu Partai Golkar mana yang boleh bertindak mewakili Partai Golkar dalam Pilkada kepada KPU, sama saja dengan menyeret KPU terlibat secara langsung dalam sengketa kepengurusan Golkar, karena KPU selain tidak diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk menilai keabsahan kepengurusan Partai Politik, tetapi juga pada saat yang bersamaan sengketa keabsahan kepengurusan Partai Golkar berada di tangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Karena itu jika KPU terjebak dalam islah Partai Golkar, maka KPU bisa dituntut karena telah bertindak mengambil alih wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara. Akibatnya KPU akan disibukkan dengan berbagai gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat penilaian KPU dalam menentukan keabsahan pasangan-pasangan calon dalam pilkada yang diusung oleh Golkar atau gabungan Partai Politik bersama Golkar di seluruh Indonesia. Kondisi yang sangat problematik ini akan muncul, ketika Partai Golkar atau Gabungan Partai Politik bersama Partai Golkar mengusung pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota, hendak mendaftarkan pasangan calonnya ke KPU, kemudian oleh KPU serta-merta menentukan keabsahan kepengurusan Partai Golkar dari salah satu kubu. Pada tingkat ini maka problematik hukum akan muncul dan melahirkan sengketa baru dengan spectrum yang lebih luas dan beragam, karena menyangkut keabsahan kepengurusan kubu siapa yang berhak untuk bertindak secara ke dalam dan ke luar mewakili Partai Golkar dalam pilkada. Masing-masing pihak akan menggunakan tafsir sendiri-sendiri dimana KPU, kubu ARB, kubu AL dan pihak ketiga lainnya, punya tafsir masing-masing. Karena itu KPU sebaiknya tidak terjebak dalam butir 4 kesepakatan islah Golkar, apalagi KPU diikat dalam islah Partai GOlkar, tanpa KPU diikutkan sebagai pihak dalam islah. Kondisi dimana keabsahan kepengurusan DPP Partai Golkar Partai Golkar kedua kubu belum ada yang sah secara hukum adalah sebuah realitas. Kepengurusan Partai kubu ARB belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, sementara kepengurusan Partai kubu AL meskipun sudah mendapatkan pengesahan, akan tetapi pengesahannya itu dianulir oleh putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan SK Memkumham untuk sementara tidak dapat diberlakukan sampai dengan pokok perkara diputus dan putusannya memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian pertanyaannya adalah kepada siapa Partai Golar dan KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota akan mengadu ketika memverifikasi dan mengklarifikasi keabsahan kepengurusan DPP Partai Golkar. Apakah kepada Menteri Hukum dan HAM atau kepada KPU Pusat. Jawabannya dua-duanya tidak berwenang, karena bola sesungguhnya berada di tangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Jika Menteri Hukum dan HAM menjadi instansi yang dimaksud dalam islah untuk memberi penilaian, maka persoalannya akan menjadi tambah rumit oleh karena Menteri Hukum dan HAM dilarang oleh Pengadilan TUN Jakarta melalui putusan selanya untuk tidak mengeluarkan keputusan apapun terkait dengan Kepengurusan Partai Golkar yang SK-nya menjadi Obyek Sengketa dalam persidangan. Begitu pula dengan posisi KPU yang oleh Undang-Undang dituntut untuk independen dan harus berlaku adil terhadap setiap peserta pemilu, sehingga dengan demikian KPU tidak boleh berada dalam posisi untuk memberi penilaian kubu mana yang berhak mewakili Partai Golkar karena sesungguhnya KPU berada dalam posisi sebagai penyelenggara tunggal Pilkada serentak yang harus Independen alias tidak boleh diikat oleh Partai Golkar dalam islahnya itu. Dengan adanya kendala yuridis seperti itu apakah kubu ARB bisa dipandang sebagai kubu yang paling berpeluang dan sah mewakili Partai Golkar dalam Pilkada? Tunggu dulu karena kepengurusan DPP Partai Golkar kubu ARB-pun hingga saat ini belum mendapatkan pengesahan dari Menkum HAM, namun tidak menjadi obyek sengketa di Pengadilan. Solusi yang paling tepat adalah, kubu ARB harus segera meminta kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta agar "mengeluarkan putusan sela" yang memberi izin kepada salah satu kubu agar boleh bertindak mewakili Partai Golkar dalam pilkada serentak yang prosesnya akan dimulai pada bulan Juli 2015 yang akan datang. Bolanya ada di tangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, bukan di tangan Menteri Hukum dan HAM dan bukan di tangan KPU. Karena itu maka yang memiliki legalstanding untuk memohon putusan sela adalah pihak Penggugat, dalam hal ini DPP. Partai Golkar kubu ARB, seperti halnya putusan sela pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Karena itu Menteri Hukum dan HAM dan KPU tidak boleh memberikan penilaian terhadap kubu mana yang sah mewakili Golkar. Jika Menteri Hukum dan HAM atau KPU yang diminta dan memberikan penilaian, maka penilaiannya akan menuai gugatan bahkan akan menjadi ancaman babak baru sengketa dua kubu Golkar dengan pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota dan Wakil-Wakilnya berikut Partai Politik lain yang bergabung dengan Golkar pun akan menggugat atau ikut digugat karena terdapat kesalahan dalam menentukan status kebasahan kubu mana yang sah.
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved