PT AAS Klaim Tak Pernah Serobot Lahan, Dana CSR Sukses untuk Budidaya Madu
Saat ini, dia mengakui selain memiliki lahan kebun karet 5 hektare, dia juga menekuni usaha budidaya madu.
Penulis: Wahyu Herliyanto | Editor: Duanto AS
Laporan Wartawan Tribun Jambi, Wahyu Herliyanto
TRIBUNJAMBI.COM, SAROLANGUN- Konflik antara perusahaan di Sarolangun dengan kelompok masyarakat masih berlanjut.
Satu di antaranya perusahaan yang mengelola hutan negara, PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS), yang ada di Kecamatan Mandiangin, dengan kelompok masyarakat. Saat ini masih ada polemik antara kedua pihak.
Permasalahan yang sudah enam tahun itu belum bisa dipecahkan. Bahkan kelompok masyarakat dengan sebuah lembaga.
Manager Districk PT AAS, Firman Purba, mengatakan dalam somasi (tuntutan) kelompok masyarakat Mandiangin ada yang janggal. Pasalnya, tuntutan mereka sangat tidak masuk akal dan tidak mendasar. Mulai dari tuntutan pencemaran lingkungan hingga berubah menjadi tuntutan ganti rugi tanam tumbuh karena merasa lahannya sudah digusur oleh PT AAS.

"Ini tidak masuk akal, ganti rugi dari Rp 252 miliar kok bisa turun menjadi Rp 52 miliar," kata Firman Purba, Districk Manager PT AAS kepada Tribunjambi.com, Selasa (8/1/2018).
Dalam somasi yang diterima perusahaan itu, juga disebutkan bahwa yang diklaim masyarakat untuk ganti rugi hanya satu desa, yaitu Dusun Mekar Jaya. Namun, fakta dalam lapangan lebih dari satu desa, dan saat ini kelompok masyarakat itu semakin memberikan aksi dan semakin merambah ke lokasi lain dengan cara memberi patok bertulisan nama masyarakat dan menanami pohon karet di sela tanaman HTI yang digarap PT AAS.
Pantauan Tribunjambi.com, sebagian pohon HTI (hutan tanaman industri) milik PT AAS yang sudah berumur 6 tahun itu memang sudah bercampur dengan pohon karet yang sudah tumbuh sekira 1 tahun.
Baca Juga:
BREAKING NEWS Kejagung Tetapkan 6 Tersangka Kasus IUP Batu Bara Sarolangun
Dua Calon Anggota DPD RI Terlambat Sampaikan LPSDK, Ini Daftar Kesalahannya
Video Vanessa Angel dalam Kamar Durasi 1 Menit, Dia sempat Kaget dan Meloncat
Foto Syur Vanessa Angel Mandi Berdua di Kamar Mandi Beredar, Nama Artisnya Telah Dikantongi
Wedding Organizer Kabur, Pengantin di Palembang Malu, Ternyata 16 Bulan Lalu Pernah Terjadi di Jambi
Bahkan, proses pemanenan pohon HTI ini terhenti karena adanya pohon karet di sela-sela pohon HTI itu.
"Ada setengah hektare lagi yang belum dipanen, setop karena kontraktor takut dengan masyarakat. Masalahnya ada pohon karet itu, sesuai Menteri Kehutanan, jika ada tanaman karet, sejak semula kami biarkan atau sisihkan," kata Firman.
Sementara itu, Kepala Seksi Penanaman, Perawatan PT AAS, Pasaribu, menjelaskan sebenarnya ketika perusahaan mengadakan land clearing (LH) pada 2011, belum ada konflik. Namun, pada 2012 konflik itu bermula
"Setelah kejadian pembakaran camp 2012 mulai terjadi konflik, dimana area yang kita tanami itu mereka tanami juga karet, sebagian sudah kita bunuh, namun sebagian lagi masih muncul, kita panen akasia dia (karet) muncul, ini yang masih menjadi masalah," katanya
"Begitu kita land clearing (LC) kita tanam, mereka sudah kita larang dan setelah pembakaran camp itu sampai sekarang. Saya tidak mungkin menggusur kalau ada tanamannya, karena kita sesuai ijin SK dan peraturan bukan semena-mena," kata Pasaribu
Perlu diketahui bahwa pada 26 Desember 2018 terjadi aksi tuntutan massa yang ke sekian kali itu diketuai sebuah lembaga kembali mendatangi kantor Bupati Sarolangun. Tuntutan itu mendesak pemda untuk menyelesaikan kasus yang sudah bertahun tahun itu.
Dia mengatakan terdapat kejanggalan dalam aksi massa itu, yang mengatasnamakan 12 desa masyarakat Mandiangin, sedangkan somasi (tuntutan) yang diberikan kepada pihak perusahaan hanya satu desa.