Buah Ciplukan Dulu Dibuang, Kini Harganya Selangit, Sekilo Ratusan Ribu, Dicari karena Khasiatnya
Tanaman ini tumbuh liar di lahan kosong, pekarangan rumah, atau tempat lain yang tanahnya tidak becek
Buah Ciplukan Dulu Dibuang, Kini Harganya Selangit, Sekilo Sampai Ratusan Ribu, Khasiatnya Banyak
TRIBUNJAMBI.COM - Pernahkah kalian mendengar nama buah ciplukan? Dahulu buah ini diabaikan, namun kini buah ceplukan mulai diburu.
Di Brunei sebijinya bisa dihargai Rp10 ribu. Sementara di mal di kota besar di Jakarta sekilonya mencapai Rp500 ribu.
Di Indonesia ciplukan ini bisa dijumpai di banyak daerah. Tanaman ini tumbuh liar di lahan kosong, pekarangan rumah, atau tempat lain yang tanahnya tidak becek, baik di dataran rendah maupun tinggi.
Baca: Kata Steve Emmanuel Kokain di Indonesia Kurang Enak, Usai Pulang dari Belanda Terjadi Hal Ini
Baca: Tukar Sebelum Hangus! Beberapa Hari Lagi 31 Desember, 4 Jenis Uang Kertas Rupiah Tak Berlaku Lagi
Baca: Detik-detik Bocah di Lampung Ditemukan Setengah Terbenam Diterjang Tsunami, Ayah, Efan Kangen
Di Bali dikenal dengan ciciplukan, sedangkan di Madura dikenal dengan nyor-nyoran. Lain lagi di Jawa Barat (cecenetan), di Jawa Tengah (ceplukan), dan masih banyak lagi nama daerah lainnya.
Ternyata semusim yang tingginya hanya 10-80 cm ini bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika tropika.
Ia didatangkan oleh orang Spanyol pada zaman penjajahan abad XVII, ketika orang VOC masih merajalela bersaing dengan orang Spanyol dan Portugis menjajah bangsa kita.
Diduga yang berkenalan pertama kali dengan tanaman bawaan ini ialah orang Maluku (yang menyebutnya daun boba), dan Minahasa (yang menyebutnya leietokan), karena merekalah yang pertama kali dilanda penjajah Spanyol dari Filipina.
Dari Maluku, ada yang kemudian mengenalkannya ke Jakarta (sebagai cecenet), Jepara (sebagai ceplukan), Bali (keceplokan), dan Lombok (dededes). Dari Jakarta baru diperkenalkan ke Sumatra Timur (sebagai leletop).

Ceplukan
Jenis yang mula-mula datang ialah Physalis angulata dan Physalis minima, yang kemudian tumbuh merajalela sebagai gulma di ladang kering, kebun buah-buahan, di antara semak belukar, dan tepi jalan.
Bersama dengan itu dimasukkan pula sebagai tanaman hias Physalis peruviana dari daerah pegunungan Peru.
Baca: Perilaku Aneh Buaya di Banten 30 Menit Sebelum Tsunami, Warga Melihatnya Berdiri dan Lakukan Ini
Berbeda dengan jenis angulata dan minima, ceplukan Peru ini berupa terna menahun yang bisa hidup lebih dari satu musim.
Ia mudah dibedakan dari jenis yang lain karena bunganya mencolok sekali lebih besar, dengan bintik-bintik cokelat tua.
Karena besarnya inilah ia di daerah Parahyangan disebut cecenet badak, dan cecenet gunung (karena hanya mau tumbuh di pegunungan).
Oleh orang Belanda pegunungan zaman dulu, buah itu selain dimakan segar juga dijadikan selai yang enak untuk mengisi roti bakar.