Jenderal Sudirman, Kisah Hidup Pengorbanan Total Hingga Dimanfaatkan Para Presiden

Jelang Pemilu, partai-partai politik biasanya berlomba menebar pesona. Para "pemimpin" dadakan pun bermunculan ini.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Panglima Besar Jenderal Sudirman 

TRIBUNJAMBI.COM - Jelang Pemilu, partai-partai politik biasanya berlomba menebar pesona. Para "pemimpin" dadakan pun bermunculan ini.

Padahal, memimpin bangsa bukan kecakapan instan. Ada proses penempaan, seperti kisah para bapak bangsa berikut ini.

Bapak bangsa yang diulas berikut ini adalah Jenderal Besar Sudirman, ditulis oleh Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2009.

Jenderal Sudirman adalah tokoh yang sangat dikenal dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya digunakan sebagai nama jalan di berbagai kota, wajahnya juga pernah menghiasi uang kertas dan logam.

Dalam buku pendidikan sejarah semasa Orde Baru, perjuangan gerilya sang Panglima Besar diceritakan "cuma" dalam beberapa halaman saja.

Penggambaran Sudirman umumnya pun hanya satu dimensi: kurus, lugu, berjuang tanpa pamrih, sakit tapi pantang menyerah. Lihatlah patungnya yang terbuat dari perunggu setinggi 6 m, karya dosen ITB Sunaryo, senilai Rp 6,5 miliar di Jln. Jend. Sudirman Jakarta, yang dibuat pada 2003.

Baca: Mengintai Gempa Donggala Pakai Satelit Perancis, Lihat Beda Garis Pantai Sesudah dan Sebelum

Yang tampak hanya keteguhan tanpa emosi. Patungnya di depan gedung DPRD Yogyakarta yang dibuat seniman Hendra Gunawan dari Sanggar Pelukis Rakyat tahun 1950-an juga senada, walaupun terkesan agak jelata.

Padahal Sudirman memiliki nuansa lebih dari itu: ia seorang guru dan kepala sekolah yang bisa membuat sajak, pendiri koperasi, pemain sandiwara, dan pesepakbola (bermain sebagai pemain belakang pada Bond Banyumas). Juga pernah berpolitik dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Berkorban jiwa, raga, dan harta

Lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga dan meninggal di Yogyakarta pada 29 Januari 1950, Sudirman merupakan pejuang yang mati muda (dalam usia 34 tahun).

Pada umur 29 ia sudah menjadi panglima angkatan bersenjata (waktu itu bernama Tentara Keamanan Rakyat - TKR) yang uniknya terpilih secara demokratis di antara para komandan dari berbagai daerah.

Keraguan pimpinan negara terhadap Sudirman sirna ketika ia membuktikan kemampuannya mengusir pasukan Sekutu yang jauh lebih canggih persenjataannya dengan strategi "Supit Urang" yang menjepit musuh dari dua sisi di Ambarawa.

Baca: Pemkot Setuju Kartu Kendali, Dewan Minta Pending, Hiswana Ancam Laporkan ke MA

Sudirman bersimpati dengan kelompok Tan Malaka yang mempelopori Persatuan Perjuangan yang menuntut syarat perundingan dengan Belanda adalah "Merdeka 100%". Sudirman mengatakan "Lebih baik kita diatom daripada tidak merdeka 100%."

Namun  terdapat kontroversi dalam kasus 3 Juli 1946 ketika serombongan tokoh datang ke Istana di Yogyakarta menuntut penggantian kabinet. Dalam sejarah resmi yang dituding terlibat adalah pendukung Tan Malaka.

Pemerintah Sukarno-Hatta tidak menuduh Sudirman, jika ini dilakukan, tentu akan muncul reaksi keras dari para prajurit. Pada buku Harry Poeze mengenai Tan Malaka (jilid 2, tahun 2009) diuraikan tentang sejauh mana keterlibatan Sudirman dalam peristiwa tersebut.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved