Tulisan 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin' Cak Nun Ditanggapi Ferdinand Hutahaean: Pencitraan
Politikus sekaligus kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menanggapi portal berita yang memberikan judul 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin'.
TRIBUNJAMBI.COM - Politikus sekaligus kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menanggapi portal berita yang memberikan judul 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin'.
Judul artikel tersebut mengacu pada tulisan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, seorang seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Ferdinand Hutahaean pun memberikan tanggapannya dengan menuliskan beberapa kalimat hasil pemikirannya, Minggu (16/9/2018).
Dalam tulisan tersebut, Ferdinand Hutahaean menyebut bahwa kini partai politik memperkenalkan calon (presiden) dengan mendustakan kenyataan.
Ia bahkan menyindir bahwa kini, calon pemimpin lebih banyak ditampilkan lewat pencitraan sedemikian rupa di muka publik.
Tak tahu untuk siapa tanggapan Ferdinand Hutahaean ini ditujukan.
Baca: Viral! Ibu Ini Tidak Mau Anaknya di Vaksin MR Usai Melahirkan, Jawaban Bidan Bikin Sadar
Namun, hingga kini banyak yang mengomentari perihal cuitan Ferdinand di Twitter pribadinya.
"Karena partai politik memperkenalkan calonnya dengan mendustakan kenyataannya.

cuitan Ferdinand Hutahaean (Twitter @LawanPolitikJW)
Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan, pembohongan, di make-up sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan, diindah-indahkan, dihebat-hebatkan" tulis Ferdinand Hutahaean di akun Twitternya, @LawanPolitikJKW.
TribunnewsBogor.com melansir dari laman website caknun.com, sebenarnya judul puisi yang sebenarnya itu bukan 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin', melainkan 'Pemimpin Tanpa Rasa Bersalah'.
Baca: Lewis Hamilton Menangi GP Singapura, Perlebar Jarak dengan Sebastian Vettel
Baca: Peringati Tahun Baru Islam, Safrial Minta Masyarakat Kuatkan Ukhuwah Islamiah
Puisi Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun ini diunggah pada 2 Agustus 2017.
Begini puisi selengkapnya:
Di tengah Bapak kami bercerita tentang “Kenapa Bukan Sunan Kalijaga saja yang jadi Sultan”, “Kenapa pendiri Jombang tidak duduk memimpin Jombang”, “Amanah Cincin dari Mbah Kholil Bangkalan”, “Aliran Pencak Silat Ki Tebuireng” — Kakak lagi-lagi mengejar soal rasa bersalah sebagai modal utama pada jiwa seorang pemimpin.
Karena di tengah kisah-kisah itu Bapak nyeletuk: Rakyat yang paling sial di suatu desa, atau yang paling celaka di suatu Negara, adalah kalau pemimpinnya tidak punya rasa bersalah.