Renu Ayu Wulandari: Dapat "Gaji Terbesar" dengan Menjadi Relawan Untuk SAD

Renu Ayu Wulandari membagikan pengalamannya menjadi seorang relawan untuk suku anak dalam (SAD).

Penulis: Nurlailis | Editor: Nani Rachmaini
tribunjambi/aldino
Renu Ayu Wulandari 

TRIBUNJAMBI.COM - Menjadi seorang relawan adalah sebuah pekerjaan mulia. Bagaimana tidak, pekerjaan ini bukan berorientasi pada uang melainkan pada sebuah pengabdian.

Ada banyak cara untuk menjadi seorang relawan bisa dari sektor kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan hal lainnya.

Satu di antara relawan di Jambi, Renu Ayu Wulandari membagikan pengalamannya menjadi seorang relawan untuk suku anak dalam (SAD).

Kegiatan ini sudah ia mulai sejak 2016 lalu. Berawal dari tugas akhir kuliahnya yaitu media pembelajaran dari permainan tradisional di daerah terpencil iapun memiliki keinginan untuk mengimplementasikan ke SAD.

“Pintu awal masuk suku anak dalam itu adalah ustad Hatta. Awal itu 8 orang yang kesana. Bukan untuk tamasya tapi sebelum kesana ya mempersiapkan donasi seperti baju bekas, tas, sepatu, buku, baru di bawa ke sana lewat pak ustad tadi. Dari sana diperkenalkan mulai dari SAD transisi hingga yang masih primitif,” ceritanya.

Sejak itu iapun mengetahui bahwa permasalahan yang SAD hadapi itu luas dan kompleks. Dari sana ia berfikiran bahwa hanya datang sasekali itu tidak membawa pengaruh yang nyata.

Untuk itulah ia membentuk komunitas sobat eksplorasi anak dalam (SEAD). Berdirinya komunitas itu menampakkan bahwa banyak anak muda Jambi yang ingin berkontribusi namun tidak ada wadah.

“Jadi relawan itu harus meluruskan niat karena tidak dibayar. Tenaga dan fikiran juga terkuras. Dulu inget banget tabungan sudah tipis tapi ada niat untuk ke SAD buat donasiin buku karya aku sendiri yaitu buku matematika pintar. Karena merasa semakin aku tidak hitung-hitungan untuk mereka baliknya berkali-kali lipat tidak dalam bentuk uang tapi dalam bentuk yang lain,” ungkap alumnus Unja ini.

Menurutnya perjuangan bukan hanya dari segi uang, namun juga perjalanan menuju sana dengan akses jalannya susah. Iapun sudah sering jatuh dari motor dan terkena cidera fisik.

“Karena memang meluruskan niat dan melihat apa yang kita lakukan bermanfaat untuk mereka jadi bahagia aja. Bahagia itu gaji buat aku,” ucapnya.

Semenjak bentuk komunitas ia merasa kurang greget jika hanya satu hari disana sehingga ia memiliki keinginan untuk tinggal juga di sana.

Selama 7 bulan terakhir ini pun ia benar-benar menetap di sana. Menurutnya seminggu sekali itu belum ada apa-apanya dibanding yang benar-benar tinggal.

Berbagai hal di luar ekspektasi pun sudah ia rasakan seperti bertemu ular, harimau, buaya dan sebagainya.

Namun selain ia memberikan ilmu kepada SAD, iapun merasa mendapatkan pelajaran penting dari mereka.

“Kita dengan sombongnya datang ke mereka membawa segudang ilmu yang akan kita bagi ke mereka. Merasa kita orang terdidik dari mereka, ngajarin baca tulis dan sebagainya. Tapi ternyata justru aku yang belajar ke mereka. Saat aku bilang mau tinggal di sana, dalam waktu dua jam mereka membangunkan aku pondok untuk aku tinggal. Itu benar-benar gotong royong dan mempersiapkan kebutuhan untuk aku tinggal di sana. Terus aku kasih makanan padahal itu kecil, dia bagi lagi ke temennya. Dia bilang ga boleh makan sendiri,” cerita wanita 24 tahun ini.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved