Jambi Heritage

Husin Akip Cs Kibarkan Bendera di Menara Air

Kemerdekaan barang mahal, tapi ketika yang dicita-citakan itu terwujud, rakyat Indonesia tak serta-merta merayakannya.

Penulis: Deddy Rachmawan | Editor: Fifi Suryani
Repro KITLV
Pekerja tengah selesaikan pembangunan Menara Air (watertoren) sekitar tahun 1920. 

TRIBUNJAMBI.COM - Kemerdekaan barang mahal, tapi ketika yang dicita-citakan itu terwujud, rakyat Indonesia tak serta-merta merayakannya. Keberadaan Jepang di Jambi pada Agustus 1945 menjadi momok yang membuat kemerdekaan menjadi kabar bisik-bisik sebelum diuar ke publik

"Pada mulanya Zainul Bahri memang agak ragu-ragu oleh karena tidak atau belum ada perintah dari penguasa Jepang yang resikonya paling ringan terkena tampar dan itu bagi seorang yang sudah termasuk umur matahari condong ke barat (tua,red) adalah sangat berat."
Begitulah seorang veteran Jambi, Mukty Nasruddin bercerita tentang ketakutan rakyat Jambi saat akan menyampaikan berita bahwa Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945. Zainul Bahri adalah seorang Wedana di Tembesi ketika itu. Menurut Mukty dalam bukunya Jambi dalan Sejarah Nusantara (tidak diterbitkan), kabar kemerdekaan itu baru sampai ke Tembesi delapan hari setelahnya. Informasi itu mulanya didapat  Ibrahim, seorang pegawai Kantor Pos Tembesi. Ia kemudian menggelar pertemuan di rumahnya dengan beberapa orang terkemuka dan sepakat mengutus Zainuddin Abbas dan A Muhib menemui Wedana Zainul Bahri unyuk mengibarkan merah putih di kantor pemerintah.
Di Tungkal adalah M Kurchi, Kepala Kantor Kawat yang membaca sinyal morse bahwa proklamasi kemerdekaan sudah dilakukan. Bermula dari informasi itulah, Kurchi menyampaikannya kepada Mahyudin Diah, Kepala Kantor Pabean di Kuala Tungkal.
Di Kota Jambi, tersiarnya Proklamasi oleh Dwi Tunggal baru sampai pada 20 Agustus 1945. Itu pun masih menjadi konsumsi terbatas. Seorang staf di Kantor Penerangan Jepang Jambi mengatahuinya namun Jepang menutup rapat-rapat informasinya. Sayang, Mukty Nasruddin tak menyebut nama petugas dimaksud.
Namun, petugas yang pribumi itu telah menyampaikaannya kepada para tokoh. Barulah, akhirnya pada hari Rabu 22 Agustus  Kepala Pemerintahan Militer Jepang Cokang Kakka (Gubernur Militer) Jambi Syiu (Keresidenan) mengundang pejabat dan intelektual Jambi bahwa perang Asia Raya selesai dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus.
Ketika itu pula Belanda melalui pesawat menyebar pamflet yang menerangkan Jepang sudah bertekuk lutut. "Di hari itu, sekelompok pemuda pimpinan R Husin Akip mengibarkan bendera merah putih di puncak menara air (watertoren)," ungkap Mukty tentang bentuk "rapsodi" yang menegaskan Indonesia merdeka.
Dulu menara yang dibangun tahun 1920-an itu termasuk bangunan yang tinggi di masanya. Puncaknya ketika itu dapat terlihat dari berbagai tempat di Kota Jambi.  Namun, Jepang belum rela. Dua hari setelahnya Jepang meminta bendera diturunkan, namun para pemuda atas pimpinan Abdullah Kartawirana tetap mempertahankannya.
Begitulah, kabar kemerdekaan diterima dan disebarkan ke rakyat. Tiap daerah di Jambi punya cara berbeda mendapatkannya. Benang merahnya, kantor pos kala itu menjadi sumber utama informasi. Ssetelah kabar itu tersiar, daerah kemudian membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Ambil contoh di Kota Jambi, KNI diketuai oleh dr Sagaf Yahya (ia kemudian menjadi Residen Keresidenan Jambi), Wakil dijabat oleh M Kamil, dan Sekretaris RM Sucipto.
Di Tungkal, pada 2 September KNI terbentuk yang di dalamnya dimotori oleh Mahyudin Diah dan HM Daud Arif.  69 tahun Indonesia merdeka, kini yang terngiang-ngiang adalah pesan Bung Karno. "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,, tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsa sendiri."

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved