Situs Solok Sipin 'Tergencet' di Jantung Kota
Dari jalan arteri yang kini bernama Jalan Slamet Riyadi, persis di seberang pemakaman Singkawang, ada pintu
Penulis: Deddy Rachmawan | Editor: Fifi Suryani
TRIBUNJAMBI.COM - Dari jalan arteri yang kini bernama Jalan Slamet Riyadi, persis di seberang pemakaman Singkawang, ada pintu masuk menuju situs ini. Jalanannya tidak datar. Tak heran jika laporan-laporan masa lalu menyebut situs ini ada di kawasan yang berbukit. Ini merujuk pada kontur tanahnya yang turun naik.
Itulah sedikit gambaran jalan menuju situs Solok Sipin. Sebuah situs cagar budaya peninggalan Budha yang berada tepat di tengah Kota Jambi. Kelak, karena keberadaaanya di tengah kota dan di permukiman padat, penyelamatan serta langkah penelitian semisal ekskavasi (Penggalian di tempat yang mengandung benda purbakala) menjadi sulit. Padahal, Begawan arkeologi Indonesia, Profesor Soekmono menyebut situs Solok Sipin adalah situs yang luas. Pernyataan itu berbanding terbalik dengan kondisi kekinian. Yang nyata tampak, luasan situs (yang terselamatkan) ini tak lebih besar dari rumah sederhana tipe 36. Situs yang berupa susunan bata hanya dipagar kawat dan ditegakkan atap di atasnya.
Ekskavasi untuk penyelamatan situs oleh pihak terkait seolah kalah cepat dengan bertumbuhnya bangunan dan pertambahan penduduk di sekitar situs. Tak heran fondasi batu batu di situs ini rusak karena masifnya hunian di sana. Alih-alih bisa menjadi sumber kajian dan informasi masa lalu, ekskavasi oleh Pusat Arkeologi Nasional pada 1983 justru gagal memperlihatkan denah seluruh bangunan. Tim hanya mampu menampakkan sisa bangunan bata.
"Sudah susah (ekskavasi), padat sekali," ujar arkeolog Bambang Budi Utomo saat Tribun ajukan tanya mengapa tak dilakukan pembebasan tanah agar bisa dilakukan ekskavasi. Bambang menyampaikan itu di sela acara Focus Group Discusion tentang Situs Muarajambi, baru-baru ini.
Foto terpampang, yang diunduh dari laman KITLV, adalah stupa berbahan batu andesit, satu dari enam temuan yang popular di Solok Sipin. Dulu warga setempat menyebutnya lonceng. Memang, melihat bentuknya pikiran kita mengasosiasikannya dengan alat bunyi-bunyian itu. Lima lainnya adalah empat makara (biasanya berbentuk simbol-simbol dengan gambar hewan) dan sebuah arca. Makara dan arca itu kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Adapun stupa menjadi koleksi Museum Siginjei. Menurut Bambang, foto tersebut diambil pada tahun 1954 ketika tim dari Dinas Purbakala (ketika itu) mengunjungi situs yang masih dipenuhi olek semak belukar tersebut.
Seorang Belanda, Dr C.J. Neeb dalam tulisannya Het Een en Ander Over Hindoe Oudheden in het Djambische yang diterbitkan tahun 1902 menyebutkan mengenai temuan situs yang kemudian dinamankan Solok Sipin ini.
Stupa yang berbentuk seperti lonceng itu dideskripsikan oleh Neeb awalnya tertanam kuat di dalam tanah. Ia menulis, "Batu yang berasal dari zaman Hindu ini ditunjukkan oleh lajur hiasan di sisi bawah banyak kemiripan dengan daun-daun bunga lotus". Mengenai pengelompokan temuan di situs ini yang oleh Neeb disebut dari zaman Hindu, sepertinya ia berbeda dari para ahli kebanyakan. Umumnya, situs ini disebut merupakan peninggalan Budha.
Selain stupa, ada empat arca berukuran "gigantis" yang ditemukan di sini. Arca tertinggi, tingginya 1,45 meter dan terpendek, 1,10 meter. Dua arca lain, tingginya1,40 dan 1,21 meter. Bambang Budi Utomo dalam makalahnya Batanghari Riwayatmu Dulu yang ia bawakan pada seminar mengenai Malayu Kuno di Jambi pada 1992 silam menyebutkan, satu dari empat arca tersebut bertarikh 986 saka atau 1064 masehi. Sepintas makara ini memiliki kemiripan bentuk dengan makara yang ditemukan di Candi Kedaton, kompleks situs Candi Muarajambi, Agustus 2011.
Neeb dalam naskahnya tadi (dialihbahasakan oleh S Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna) menulis bahwa tempat dimana makara tersebut ditemukan dulunya merupakan pendopo rumah Pangeran Ratu yang digunakan sebagai tempat duduk. Neeb bahkan membagi kisah serupa cerita Malin Kundang terkait empat makara itu. Ia meriwayatkan cerita dari penduduk setempat.
"Pada zaman dahulu di tempat itu sedang berlangsung upacara pernikahan, lalu datang orang asing bertanya mengenai perayaan yang sedang berlangsung. Orang-orang yang sedang berpesta tidak mengerti bahasa orang asing itu. Ketika berkali-kali bertanya namun tidak mendapat jawaban, orang asing itu menjadi marah dan berkata: "Apabila kalian tidak mau menjawab maka saya akan membuat kalian diam abadi". Lalu semua yang berpesta berubah menjadi batu," tutur Neeb.
Neeb, sepertihalnya saya bahkan mungkin Anda, tak memercayai kisah itu. Pikirannya sederhana, seharusnya ada lebih dari empat batu (makara) karena yang hadir di pesta tentu jumlahnya lebih banyak. Kini, legenda itu tak lagi terdengar. Ceritanya menguap bersama waktu panjang yang sudah berlalu.
Serupa itulah nasib Situs Solok Sipin. Situs yang sejatinya luas ini terkungkung hunian di sekelilingnya. Ia gagal mengabarkan kejayaan masa lalunya. Ceritanya terkubur oleh struktur bata dari zaman kekinian. Empat makara, satu arca dan satu stupa masih sebatas eksordium (pengantar) dari "monumen" yang dinamai Solok Sipin.