Berita Nasional
Perbedaan Sikap Istana Era Jokowi dan Prabowo Hadapi Demonstran Diungkap Andi Widjajanto
Andi menjelaskan, di era Presiden Jokowi, Istana menerapkan "Protap Siaga 1" begitu massa demonstran mulai mendekati Istana.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi sorotan publik.
Kondisi ini memicu perbandingan cara penanganan antara pemerintah Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto.
Andi Widjajanto, Penasihat Senior LAB 45 yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara di era Jokowi, mengungkapkan perbedaan sikap Istana Kepresidenan dalam menghadapi para demonstran.
Menurut Andi, yang berbicara dalam program Dua Arah Kompas TV pada Jumat (5/9/2025), ada perbedaan mendasar dalam protokol penanganan unjuk rasa.
Andi menjelaskan, di era Presiden Jokowi, Istana menerapkan "Protap Siaga 1" begitu massa demonstran mulai mendekati Istana.
Para pejabat dari Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Presiden, hingga Kepala Staf Kepresidenan (KSP) langsung bersiaga.
"Kalau dulu protap di Istana, begitu demonya mengarah ke istana, sudah mulai masuk dari Patung Kuda ke Jalan Medan Merdeka Barat, maka Setneg, Setkab, Setpres, KSP, langsung siaga 1," kata Andi.
Ia bahkan berbagi pengalamannya sendiri saat menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.
Baca juga: Daftar Gaji Rp65 Juta DPR RI Usai Stop Kunker dan Pangkas Tunjangan Setelah Demo-Tuntutan Rakyat
Baca juga: Desak Mulan Jameela Mundur dari DPR, Lita Gading Soroti Kinerja Hingga Kontroversi Istri Ahmad Dhani
Baca juga: Jejak Pelarian Konara Enumbi Berakhir di Honai, Satgas Cartenz Tangkap KKB Papua Pembunuh Polisi
Bersama Luhut Binsar Pandjaitan, ia pernah langsung menemui mahasiswa di tengah demonstrasi, naik ke atas kap mobil untuk berkomunikasi dan meredakan situasi.
Namun, Andi Widjajanto menyoroti adanya perubahan sikap di era pemerintahan saat ini.
Dia menilai komunikasi langsung dengan para demonstran kini cenderung minim.
Menurutnya, Istana seolah-olah baru akan bersikap setelah kondisi memanas, ditandai dengan aksi pembakaran ban atau pagar gedung DPR yang roboh.
"Jadi seolah-olah tadi, sudah ada sub culture, pagar DPR harus digoyang dulu, harus ada ban terbakar dulu, baru bisa menarik perhatian dari dalam," ungkap Andi.
Ia berpendapat bahwa idealnya, pihak Istana harus proaktif menemui massa sejak jumlahnya masih sedikit, bukan menunggu hingga jumlahnya membesar dan berpotensi anarkis.
Gelombang demonstrasi pada akhir Agustus dan awal September 2025 tercatat menimbulkan dampak yang tragis.
Menurut data YLBHI, setidaknya 10 nyawa melayang dan 1.042 orang mengalami luka-luka selama aksi unjuk rasa di berbagai daerah.
Baca juga: Terpojok Framing Negatif, Kapuspen Bantah Anggotanya Jadi Provokator Demo: TNI-Polri Tetap Solid
Baca juga: Misteri Motif di Balik Kematian Satu Kelurga di Indramayu: Postingan, Warisan, dan Tamu Jadi Sorotan
Selain itu, 3.337 demonstran juga ditangkap oleh pihak kepolisian.
Angka-angka ini menjadi catatan kelam dan menunjukkan bahwa penanganan demonstrasi masih menjadi tantangan serius bagi pemerintah.
Perbedaan pendekatan antara dua era kepemimpinan ini menjadi hal yang penting untuk dicermati, terutama terkait upaya pemerintah dalam menciptakan ruang dialog yang konstruktif dan mencegah eskalasi konflik.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Golkar DPD Provinsi Jambi Gelar Musyawarah
Baca juga: Viral PHK Massal di Pabrik Rokok Gudang Garam, Laporan Laba Anjlok
Baca juga: Denny Sumargo Pilih Merah Putih di Tengah Tren Brave Pink Hero Green
Baca juga: Daftar Gaji Rp65 Juta DPR RI Usai Stop Kunker dan Pangkas Tunjangan Setelah Demo-Tuntutan Rakyat
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.