Berita Nasional

Dokter Reni Kurniawati di Pati Kena Mutasi Sudewo 3 Kali Sebulan, Jadi Korban dan Sempat Pertanyakan

Di hadapan Pansus Hak Angket, Reni mengaku mendapatkan tiga kali Surat Keputusan (SK) mutasi yang ditandatangani oleh Sudewo dalam waktu sebulan.

Penulis: Suci Rahayu PK | Editor: asto s
Tribun Jateng
PATI - Seorang ASN dokter Reni Kurniawati ternyata menjadi "korban" mutasi oleh Bupati Pati, Sudewo. Hal tersebut terungkap saat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menggelar rapat terkait pemakzulan Bupati Pati, Sudewo, pada Rabu (3/9/2025). 

TRIBUNJAMBI.COM, PATI - Seorang ASN dokter Reni Kurniawati ternyata menjadi "korban" mutasi oleh Bupati Pati, Sudewo.

Hal tersebut terungkap saat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menggelar rapat terkait pemakzulan Bupati Pati, Sudewo, pada Rabu (3/9/2025).

Reni Kurniawati merupakan dokter di RSUD RAA Soewondo Pati, Jawa Tengah. 

Dalam rapat tersebut, dokter yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RAA Soewondo Pati bernama Reni Kurniawati ikut dipanggil dan memberikan kesaksian.

Ada sejumlah kejanggalan dalam proses mutasi dokter karena sebulan dokter Reni mendapat tiga kali surat keputusan alias SK mutasi yang ditandatangani Sudewo.

Deretan Kejanggalan dan Kronologi

Pansus Hak Angket DPRD Pati pun menduga ada kejanggalan dalam proses mutasi dokter bernama Reni tersebut.

Di hadapan Pansus Hak Angket, Reni mengaku mendapatkan tiga kali Surat Keputusan (SK) mutasi yang ditandatangani oleh Sudewo dalam waktu satu bulan.

Mulanya, Reni bertugas sebagai dokter di RSUD Soewondo Pati.

Dia lalu dipindah ke RSUD Kayen.

Setelah itu, dokter Reni dipindahkan ke Puskesmas Kayen.

Kemudian, terakhir, dokter Reni Kurniawati dikembalikan lagi ke RSUD Soewondo Pati.

Sehari Kerja Langsung Dipindah

Jarak antara RSUD Soewondo Pati dan RSUD Kayen sendiri 20 kilometer atau sekira 30 menit perjalanan menggunakan mobil.

Reni mengaku 'dilempar' sebanyak tiga kali dalam kurun waktu satu bulan. 

Mengutip TribunJateng.com, SK pertama ia dapat pada 9 Juli 2025.

"Saya menerima SK pertama 9 Juli 2025, bahwa saya dipindah ke RSUD Kayen," ujar Reni, Rabu (3/9/2025).

Namun, baru sehari, ia diminta untuk menghadap Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Pati karena SK yang diterimanya salah.

"Tapi baru satu hari, saat saya menghadap ke direktur dan jajaran manajemen RSUD Kayen, saya diminta menghadap BKPSDM, katanya SK salah dan perlu direvisi, sehingga dianggap tidak berlaku dan saya diminta menunggu SK revisi," lanjut Reni saat memberi kesaksian.

Lima hari berlalu, tepatnya pada 14 Juli 2025, Reni kembali menerima SK mutasi dari Bupati Pati.

Dalam SK tersebut, Reni dimutasi ke Puskesmas Kayen.

Belum satu bulan bertugas di Puskesmas Kayen, pada 4 Agustus 2025, Reni mendapatkan SK lagi dan dipindahkan ke RSUD Soewondo.

"SK itu tertanggal 1 Agustus 2025. Saya kembali dipindahkan ke RSUD Soewondo, kembali ke tempat semula," jelas Reni.

Reni mengaku bingung karena hanya dalam waktu satu bulan, ia dimutasi ke tiga tempat berbeda dan berakhir kembali lagi di RSUD Soewondo.

"Saya sedih karena harus meninggalkan RS yang sudah saya anggap rumah kedua saya sendiri. Merasa agak lucu juga sih, tapi ya sudahlah, saya tidak mau mempermasalahkan," kata dia.

Dokter Reni Sempat Mempertanyakan

Menanggapi pernyataan Reni, anggota Pansus dari fraksi PKB, Muhammadun bertanya apakah Reni pernah membantah pimpinan atau bupati secara langsung maupun tidak langsung.

Madun, sapaan akrabnya, mengatakan, bisa jadi hal tersebut jadi alasan Reni dimutasi.

Ia juga menanyakan kepada Reni, apakah ia dan suaminya mendukung paslon tertentu saat Pilkada 2024 lalu.

"Apakah ketika Pilbup, Ibu tidak mendukung bupati terpilih? Ibu memilih siapa itu rahasia Ibu, tapi apakah Ibu atau suami pernah mengajak atau melarang memilih Paslon tertentu, sehingga nasib Ibu hampir sama dengan kejadian lain."

"Rata-rata karena dianggap berpolitik oleh (bupati) yang menang, sehingga sewenang-wenang memutasi bawahannya, bahkan dipingpong seperti ini," tanya Madun.

Reni pun menjawab, saat menerima SK pertama kali, ia langsung menghadap Direktur RSUD Soewondo.

Kepada direktur RSUD, dia bertanya apakah membuat kesalahan hingga dimutasi sebagai hukuman.

Dokter Reni juga merasa tak pernah merasa membuat salah kepada siapa pun di lingkungan rumah sakit, termasuk ke pasien maupun pegawai.

"Bu Direktur menjawab, tidak ada. Katanya ini hanya bagian dari perjalanan hidup. 

Bahkan beliau berharap saya bisa kembali lagi ke RSUD Soewondo karena memang saya tidak ada masalah apa pun," jawab Reni.

Dolter Reni juga mengatakan bahwa ia dan suaminya enggan terlibat dalam politik praktis atau mendukung salah satu paslon tertentu.

"Kami tidak pernah berpolitik, baik kampanye, memasang status, atau mengajak orang (memilih paslon tertentu). Bahkan kami menolak ‘amplop’ dari mana pun," tegas Reni.

Madun Ungkap Kisah Mutasi ASN Janggal

Madun menimpali dengan sebuah kisah bahwa ada kasus mutasi ASN lain yang cukup janggal.

Ada ASN di lingkup Pemkab Pati yang dimutasi hanya karena suami ASN tersebut kritis terhadap kebijakan Pemkab Pati.

"Kami mendengar, tolong dikonfirmasi, suami Ibu saat Pilkada tidak mendukung pasangan yang sekarang jadi. Bahkan cenderung ke paslon lain. Mohon ini dikonfirmasi benar atau tidak," ucap Madun.

Reni kembali menegaskan bahwa ia dan suaminya tak pernah tertarik dengan politik praktis.

Bahkan, dokter Reni Kurniawati dengan tegas mengatakan bahwa apabila ada yang menyebut suaminya mendukung paslon tertentu, itu adalah sebuah fitnah.

"Pekerjaan kami saja sudah banyak, ngapain ngurus politik. 

Kami hanya rakyat yang menggunakan hak pilih, tapi tidak pernah ngajak-ngajak memilih paslon tertentu," jelas Reni.

"Pekerjaan kami saja sudah banyak, ngapain ngurus politik," tambahnya.

Dokter Reni Punya Kompetensi Khusus

Reni mengaku senang saat kembali lagi ke RSUD Soewondo karena merupakan salah satu dokter yang mempunyai kompetensi khusus yang sangat dibutuhkan.

"Di Soewondo memang saya memegang beberapa pekerjaan yang memerlukan kompetensi khusus,"

"Di antaranya dokter pelaksana di bank darah dan pendamping dokter internship. Butuh pelatihan yang tidak instan, berbulan-bulan, untuk bisa memegang tanggung jawab tersebut."

"Penggantinya butuh pelatihan khusus. Kalau pemindahan tiba-tiba, otomatis akan terjadi ketidaksesuaian," ujarnya.

Mendengar kesaksian Reni, Madun pun mengaku bingung dengan apa motivasi Sudewo mengeluarkan SK mutasi tersebut.

"Bapak-Ibu biasa-biasa saja, tapi 'dihukum' sedemikian rupa oleh penguasa? Apa masalahnya? Kok tidak masuk nalar?"

"Kesimpuan pribadi saya, berarti pejabat yang memperlakukan ibu seperti ini adalah pejabat yang zalim," tegas Madun.

Ketua Pansus: Hal Lucu

Sementara Ketua Pansus Hak Angket DPRD Pati, Teguh Bandang Waluya mengatakan bahwa kasus yang dialami dokter Reni ini merupakan sesuatu yang "lucu".

“Dokter Reni dalam sebulan dipindah tiga kali, bahkan ada SK yang salah. Ini hal yang lucu."

"Kecuali SK-nya bersama-sama (dengan ASN lain). Ini kan, SK sendiri. Beliau dari Soewondo, digeser ke RSUD Kayen, dipanggil, salah SK, dipindah ke Puskesmas, kemudian geser lagi ke Soewondo."

"Ini bentuk pembinaan atau seperti apa, prinsipnya kami mendalami," ungkap Teguh Bandang.

Eselon II Dimutasi Jadi Staf Biasa

Pada akhir Agustus 2025 lalu, Pansus Hak Angket DPRD Pati juga telah memanggil seorang ASN lain yang mutasinya dinilai janggal.

ASN di lingkup Pemkab Pati bernama Agus Eko Wibowo, diturunkan jabatannya dari Eselon II ke staf biasa.

Agus mengaku kaget saat menerima Surat Keputusan (SK) Bupati pada Juli 2025.

Dalam SK tersebut, Agus dinyatakan diberhentikan dari jabatan pimpinan tinggi pratama.

Sebelumnya, Agus merupakan ASN Eselon II dengan jabatan Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan.

Ia hanya satu bulan mengemban jabatannya tersebut. Sebelumnya ia menjabat sebagai Inspektur Daerah Kabupaten Pati.

Agus yang menerima SK melalui BKPSDM Pati ini, kini menjadi staf biasa di Sekretariat Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Arpus).

“Saya juga bingung. Dalam SK tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat tim penilai kinerja Kabupaten Pati, saya telah melakukan perbuatan secara tidak sah, termasuk di dalamnya menyuruh orang lain untuk menghilangkan barang milik Pemkab Pati, termasuk di dalamnya dokumen milik Pemkab Pati. Saya bingung karena di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saya tidak ada terkait itu,” kata Agus, dikutip dari TribunJateng.com.

Ia menyampaikan hal tersebut di hadapan Pansus Hak Angket DPRD Pati.

Agus menceritakan, sebelum mendapatkan SK tersebut, ia menjalani BAP pada 14 Juli 2025 atas panggilan Teguh Widyatmoko, Inspektur Daerah yang kini menjabat.

Dalam BAP tersebut, Agus hanya menandatangani dua poin, yakni terkait proses mutasi auditor P2UPD dan pergantian pengurus barang lama ke baru.

Lalu pada 18 Juli 2025, ia diminta datang oleh Plt Kepala BKPSDM Pati, Yogo Wibowo.

“Ternyata di sana saya disodori SK Bupati terkait pemberhentian dari jabatan pimpinan tinggi pratama,” ucap Agus.

Agus pun heran, karena pertimbangan penurunan jabatannya adalah menyuruh orang lain untuk menghilangkan dokumen milik pemerintah daerah.

Padahal, hal tersebut tak pernah ia lakukan dan tak tercantum dalam BAP.

“Saya bingung begitu saya dituduh menghilangkan atau memerintahkan menghilangkan barang daerah. Sebab, mulai 5 Juni 2025, saya sudah menjadi staf ahli dan tidak memiliki hak dan kewenangan terkait tupoksi inspektorat,"

"Semua terkait dokumen, berita acara, keuangan, aset, sudah saya serahkan ke Plt Inspektur baru, pengganti saya waktu itu, yakni Pak Riyoso,” ujar Agus.

Ia mengatakan, semua dokumen sudah diserahkan kepada Plt Inspektur pada 5 Juni 2025.

"Dokumen hard copy semua ada, tidak ada yang hilang. Saya bilang, saya tidak gila, saya sudah berjuang untuk capaian tindak lanjut BPK nomor 1 se-Indonesia, masa dokumennya saya hilangkan. Toh misalkan dokumen hilang, atau gedung inspektorat dibakar sekalipun, masih ada aplikasi SIPPN. Dokumen sudah diunggah semua di sana. Jadi hard copy maupun soft copy tidak ada yang hilang," jelas dia.

Agus pun merasa heran dengan keputusan yang ia alami, terlebih kinerjanya bisa dibilang tidak ada yang menyimpang.

“Posisi kinerja pekerjaan tindak lanjut BPK pada 2019 dan sampai tiga tahun setelahnya, Pemkab Pati di kisaran rangking 21-25 se-Jateng. Tapi dua tahun terakhir, progresnya dipantau BPK, pada masa kepemimpinan Pak Agus progres tindak lanjut BPK Pemkab Pati nomor 1 se-Jateng dan nasional,” ucap Agil.

Anggota Pansus Hak Angket DPRD Pati, Muslihan pun menilai ada kejanggalan dalam proses mutasi dan penurunan jabatan ini.

"Terkait proses penurunan jabatan, kronologis yang disampaikan sangat memprihatinkan. Ternyata banyak hal yang jadi kejanggalan. Seharusnya tidak seperti itu. Selain jeda waktu yang sangat singkat, BAP-nya juga menurut kami tidak sesuai. Menurut kami hanya alasan yang tidak sesuai dengan yang dilakukan Pak Agus," jelas dia.

Penurunan jabatan ini, dinilai Muslihan ada indikasi kezaliman karena dari Eselon II tidak turun menjadi Eselon III atau IV, namun langsung jadi staf.

"Ini menjadi hal memprihatinkan. Kami merasa Pak Agus ini juga potensial, masih muda, belum ada hal (alasan) yang sekiranya untuk diturunkan jabatannya. Akan tetapi BAP menurut kami hanya karangan saja. Tapi kami belum menyimpulkan, karena nanti kesimpulan baru ada pada akhir proses Pansus," tandas dia. (Tribunnews/Muhammad/TribunJateng.com/Mazka)

Baca juga: Bisnis Sarang Walet Diduga Jadi Pemicu Pembunuhan Keluarga Sahroni di Indramayu

Baca juga: Anak Almarhum BJ Habibie Blak-blakan, Ridwan Kamil Belum Lunasi Mobil Rp1,3 M Milik Ayahnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved