Demo di Jambi Ricuh

Demo Ricuh di Jambi, Psikolog Ungkap Peran Media Sosial dalam Menggiring Emosi Massa

Aksi demo yang terjadi di Jambi pada Jumat (29/8/2025) berakhir ricuh, Fasilitas umum, kendaraan hingga pos polisi yang menjadi bulan-bulanan masa.

Tribunjambi/Srituti Apriliani
AKSI DEMO.Aksi demo yang terjadi di Jambi pada Jumat (29/8/2025) berakhir ricuh, Fasilitas umum, kendaraan hingga pos polisi yang menjadi bulan-bulanan masa. 

 

Laporan Wartawan Tribunjambi.com Srituti Apriliani Putri 


TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Aksi demo yang terjadi di Jambi pada Jumat (29/8/2025) berakhir ricuh.

Banyak fasilitas umum, kendaraan hingga pos polisi yang menjadi bulan-bulanan masa.

Di tengah gelombang aksi tersebut, fenomena sosial media yang menjadi alat penyebaran informasi turut berpengaruh. Aksi live di sosial media saat demo hingga narasi-narasi yang di bagikan pada khalayak. 

Memandang hal tersebut Dessy Pramudiani, Ketua HIMPSI Wilayah Jambi yang juga Ketua Jurusan Psikologi FKIK Universitas Jambi mengatakan bahwa sosial media tidak hanya menjadi sarana informasi, tetapi juga berperan dalam membentuk dan memperkuat kondisi emosional massa. 

Ia menerangkan bahwa dalam perspektif psikologi, media sosial memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kondisi emosional massa, baik sebelum maupun saat demonstrasi. 

"Menurut teori emotional contagion (Hatfield, Cacioppo, & Rapson, 1994), emosi individu dapat “menular” ke orang lain melalui interaksi sosial, termasuk di dunia maya. Konten viral seperti video, foto, atau narasi tentang ketidakadilan dapat memicu emosi kolektif secara cepat, sehingga rasa marah atau frustrasi menyebar luas bahkan sebelum massa turun ke jalan," ujarnya Sabtu (30/8/2025). 


Hal tersebut dapat dianalogikan seperti api yang menyebar dari satu ranting ke ranting lain: satu percikan kecil bisa membakar seluruh tumpukan jika tidak dikendalikan. 


Di mana saat demo berlangsung, informasi real-time di media sosial semakin mengintensifkan emosi kelompok, sesuai konsep group emotion amplification dalam psikologi sosial. 


"Di mana interaksi dalam kelompok memperkuat respons emosional individu. Paparan terus-menerus terhadap konten provokatif juga menimbulkan dampak psikologis jangka panjang," jelasnya.


Dessy menjelaskan berdasarkan teori stress and coping (Lazarus & Folkman, 1984), paparan stresor emosional berulang, seperti kekerasan atau konflik, dapat memicu stres kronis, kecemasan, dan trauma ringan. 


Konten provokatif juga memperkuat ingroup-outgroup bias (Tajfel & Turner, 1979), memicu polarisasi sosial, dan dapat menormalisasi kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. 


"Kelelahan psikologis pun mungkin muncul, membuat masyarakat lebih mudah putus asa, marah berkepanjangan, atau apatis terhadap isu sosial-politik.

Analogi sederhananya, terus-menerus melihat api tanpa ada air atau pemadam akan membuat seseorang kepanasan dan lelah, sehingga sulit berpikir jernih," ungkapnya. 


Oleh karena itu, pengelolaan emosi massa melalui media sosial menjadi krusial.

Dari perspektif psikologi, hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat literasi digital dan literasi emosional agar individu mampu menahan diri sebelum menyebarkan konten yang memicu emosi.


"Narasi yang menekankan empati, solusi damai, dan komunikasi terbuka dapat menjadi counter-narrative terhadap provokasi, sesuai prinsip emotion regulation (Gross, 1998)," ujarnya. 


Dessy menambahkan kolaborasi dengan figur publik atau influencer juga penting untuk menenangkan massa, dan penyediaan ruang dialog daring memungkinkan emosi tersalurkan secara konstruktif. 


"Dengan pendekatan ini, media sosial bisa berfungsi bukan sebagai pemicu kerusuhan, tetapi sebagai sarana pengelolaan emosi yang menjaga demo tetap aman dan terkontrol," pungkasnya.

Baca juga: Unjuk Rasa di Pekalongan Ricuh: Tanpa Orasi Langsung Bakar Gedung DPRD

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved