“Saya menjamin diri saya supaya memberikan ketenangan kepada masyarakat,” tambahnya.
Meski dibebaskan, kesepakatan dibuat agar masyarakat tidak lagi melakukan pengerusakan, pemblokiran jalan, maupun perusakan fasilitas umum.
“Kalau demo itu hak masyarakat, tetapi kalau melakukan pengerusakan atau semacamnya tentu ada aturannya,” jelasnya.
Sementara itu, Kapolres Kerinci AKBP Arya T Brachmana menyebut status warga tersebut merupakan penangguhan.
“Ya, penangguhan penanganan,” ujarnya singkat, Senin (25/8/2025).
Alasan Warga Menolak PLTA
Warga Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan menolak pembangunan PLTA karena menilai proses ganti rugi bermasalah.
Mereka mengaku kehilangan mata pencarian akibat penutupan permanen Sungai Tanjung Merindu untuk operasional proyek PT Kerinci Merangin Hidro.
“Sungai Tanjung Merindu saat ini mengering, ini berdampak pada sawah warga yang ikut mengering, dan nelayan yang tidak lagi bisa mencari ikan,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Ia menegaskan, kompensasi yang diberikan seharusnya bukan sekadar soal uang.
“Ini bukan cuma masalah uang, tapi kehidupan anak cucu kami ke depannya itu intinya,” tambahnya.
Warga juga mempersoalkan adanya dugaan kejanggalan dalam proses negosiasi.
Pada awal proyek, kesepakatan dibuat bahwa perundingan ganti rugi harus melibatkan pemerintah desa, ketua adat, alim ulama, dan karang taruna.
Namun, setelah itu, Kepala Desa Pulau Pandan dan Karang Pandan disebut bertemu diam-diam dengan pihak perusahaan.
Dalam pengumuman, perusahaan disebut menyanggupi ganti rugi Rp5 miliar untuk dua desa.