Area tersebut kini ditanami sawit dan karet oleh warga, dengan luas sekitar 800 hektare.
“Perusahaan berdiri sejak 1999. Manajemen baru mulai tahun 2021 dan kami mulai inventarisasi lahan sejak 2023,” jelas Risgianto.
Ia menyebut lahan itu masuk wilayah hutan produksi, dengan zona KPPL, KPSL, dan hutan penyangga.
Masyarakat memanfaatkan lahan penyangga untuk berkebun, meskipun mereka tahu statusnya adalah hutan produksi.
Dari hasil RDP, PT Jebus Maju sepakat memberikan ruang bagi warga untuk memanfaatkan hasil kebun,asalkan bukan tanaman sawit.
Lahan tersebut juga tidak memiliki sertifikat (SHM atau sporadik) karena berstatus hutan produksi.
“Masyarakat boleh panen dari kebun yang sudah ada, tapi tidak boleh membuka lahan baru, menebang hutan secara ilegal, atau melakukan tambang ilegal. Kita semua harus mencegah deforestasi,” tegas Risgianto.
Kepala UPTD KPHP Merangin IV-VI Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Rusnal, memastikan izin PT Jebus Maju masih berlaku.
“Perusahaan punya hak dan kewajiban menjaga kawasan dari perambahan hutan dan aktivitas ilegal seperti PETI,” ujarnya.
Menurut Rusnal, pemanfaatan lahan hutan produksi hanya bisa dilakukan lewat kemitraan kehutanan, dan diajukan ke Kementerian Kehutanan.
Jenis tanamannya pun harus tanaman kehutanan, seperti durian atau petai—bukan sawit.
“Kalau ada yang memperjualbelikan lahan hutan, itu melanggar hukum,” tegas Rusnal.
Tim dari dinas sudah diturunkan untuk memasang tanda batas wilayah hutan yang disengketakan.
Bagi warga yang telanjur menggarap, akan dilakukan inventarisasi dan dipilah dua program: pertama, pengeluaran dari izin PT Jebus Maju untuk dimasukkan ke Program Perhutanan Sosial.
Kedua, kemitraan Kehutanan antara PT dan warga yang harus mendapatkan izin dari kementerian.
Update berita Tribun Jambi di Google News