Berita Nasional

Tikus-Tikus di Sawah Ayah: Kisah Anak-Anak yang Bertarung Demi Panen, Pulang Dapat Cuan

Penulis: Darwin Sijabat
Editor: Darwin Sijabat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BERBURU TIKUS: Ilustrasi gambar berburu tikus dihasilkan ChatGPT. Anak-anak berlarian di pematang sawah, membawa tongkat bambu, mata mereka tajam mengawasi semak dan lubang kecil yang menjadi sarang hama: tikus-tikus sawah. (foto: ChatGPT)

TRIBUNJAMBI.COM - Minggu pagi yang cerah di Desa Sraten, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah berubah menjadi medan perburuan kecil bagi puluhan anak-anak berseragam lusuh dan bercaping. 

Mereka berlarian di pematang sawah, membawa tongkat bambu, mata mereka tajam mengawasi semak dan lubang kecil yang menjadi sarang hama: tikus-tikus sawah.

Salah satunya adalah Ibnu (10), siswa kelas empat SD. Di tangannya, seekor tikus yang baru saja ia kejar hingga kelelahan dan pukul berulang kali dengan tongkat bambu. 

Dengan napas masih tersengal, ia memungut tikus yang nyaris mati itu dan membantingnya di atas jalan beton kecil di tengah sawah.

“Saya ikut menangkap tikus ini karena ingin membantu ayah saya. sawah ayah saya padinya banyak yang rusak karena dimakan tikus, sehingga tidak bisa panen,” ucap Ibnu, dengan sorot mata yang mencerminkan keseriusan melebihi usianya.

Di saat banyak anak seusianya sibuk dengan gawai dan permainan digital, Ibnu dan teman-temannya memilih turun ke lumpur. 

Mereka memanfaatkan hari libur untuk berkontribusi, bukan hanya kepada keluarga mereka, tapi juga kepada komunitas pertanian yang mulai terancam.

“Lebih baik mencari tikus daripada main ponsel. Apalagi nanti tikus yang ditangkap bisa ditukar uang Rp 2.000 per satu ekor,” ujarnya polos, sembari memasukkan bangkai tikus ke dalam karung yang sudah setengah penuh.

Baca juga: Respon Kapolri Soal Kantor Tempo Diteror Lagi, 6 Bangkai Tikus di Kardus Bungkus Kertas Motif Mawar

Baca juga: 3 Shio Paling Beruntung soal Uang Besok Jumat 27 Desember 2024: Berbahagialah Kuda, Naga dan Tikus

Kegiatan yang disebut gropyokan tikus ini difasilitasi oleh Dinas Pertanian, Perikanan, dan Pangan Kabupaten Semarang, dan dilaksanakan serentak di lima kecamatan: Banyubiru, Tuntang, Ambarawa, Bawen, dan Jambu. Tujuannya adalah sederhana tapi krusial—menekan populasi hama yang telah merusak puluhan hektare tanaman padi warga.

Kepala Desa Sraten, Rohmad, menyebutkan bahwa serangan hama tikus sudah mengakibatkan kerusakan di sekitar 25 hektare sawah dari total 60 hektare yang ada di wilayahnya.

“Serangan tikus mengganas karena habitat di Rawa Pening terendam air, sehingga tikus-tikus itu berpindah ke persawahan,” jelasnya.

BERBURU TIKUS: Infogafis Ilustrasi berburu tikus dihasilkan ChatGPT. Anak-anak berlarian di pematang sawah, membawa tongkat bambu, mata mereka tajam mengawasi semak dan lubang kecil yang menjadi sarang hama: tikus-tikus sawah. (foto: ChatGPT)

Ia juga mengungkapkan bahwa sebagian petani bahkan sempat putus asa untuk menanam padi kembali.

“Istilahnya, hasil panen padi akan digunakan untuk simpanan saat Lebaran, namun ternyata saat puasa, hama tikus merajalela dan petani gagal panen,” tutur Rohmad dengan nada prihatin.

Tapi di balik krisis ini, ada nilai pendidikan yang berharga. 

Melibatkan anak-anak dalam kegiatan seperti ini bukan hanya tentang memusnahkan hama, tapi juga tentang memperkenalkan realita pertanian yang keras dan penuh tantangan.

Halaman
12

Berita Terkini