Ekologi

Antara Manusia, Keegoisan, dan Sumber Daya

Editor: Suang Sitanggang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivitas penambangan emas tanpa izin di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, beberapa waktu lalu.

OPINI

Refleksi Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia setiap tanggal 17 Juni: Mengulik pentingnya kesadaran manusia dalam upaya menjaga ekosistem lingkungan.

Antara manusia, keegoisan, dan sumber daya, terbalut dalam sebuah kisah ironi lingkungan yang berjudul "Tragedi Kepemilikan Sumber Daya Bersama (Tragedy of the Commons)". Kisah ini berawal dari polemik degradasi lahan yang disebabkan oleh adanya pemanfaatan sumber daya secara bersama-sama, berulang-ulang, dan berlebihan.

Pahitnya, individu atau kelompok yang terlibat masih cukup bias akan tanggung jawab atas eksternalitas negatif yang terjadi.

Tragedi kepemilikan sumber daya bersama terlahir menjadi sebuah konsep yang menggabungkan antara ilmu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep ini pertama kali dicetuskan seorang Ahli Ekonom yang bernama William Forster Lloyd pada tahun 1833, lalu dikembangkan ahli lingkungan bernama Garret Hardin pada tahun 1968. Masalah yang digambarkan dalam konsep ini bukanlah sebuah sketsa, melainkan menjadi fakta saat ini.

Data Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, luas hutan Indonesia sekitar 102,53 juta hectare, terjadi penurunan jumlah luas hutan sekitar 1,33 juta ha atau 0,7 persen dibanding tahun 2018.

Melirik degradasi di level daerah, data KKI Warsi menunjukkan bahwa selama 50 tahun terakhir (1973-2023), Provinsi Jambi telah mengalami kehilangan hutan seluas lebih dari 2,5 juta ha atau 73 persen, yang dimana tutupan hutan Jambi pada tahun 1973 masih seluas 3,4 juta ha dan turun menjadi 922.891 ha pada tahun 2023.

Penyebab terjadinya degradasi ini adalah perubahan penggunaan areal hutan menjadi penggunaan lain, seperti aktivitas permukiman, perkebunan, pertambangan, dan pertanian.

Jeritan lahan dan hutan sudah kurang terdengar lagi oleh manusia. Keserakahan dan ambisi membutakan makna kepedulian lingkungan. Degradasi yang dibiarkan secara terus-menerus akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosio-ekonomi masyarakat sekaligus menurunkan stabilitas perekonomian negara.

Goyahan-goyahan yang ditimbulkan mencakup maraknya bencana alam (kekeringan, banjir, dan lain-lain), berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya alam, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat. Lebih buruknya lagi, degradasi lahan dapat meningkatkan angka kemiskinan serta ketidakstabilan politik dan administrasi suatu negara.

Refleksi dan Peran Manusia

Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia atau World Day to Combat Desertification and Drought (WDCDD) diperingati setiap tanggal 17 Juni. WDCDD menjadi ruang refleksi manusia untuk kembali merenung tentang pentingnya menjaga ekosistem lingkungan demi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat.

WDCDD ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi Majelis Umum A/RES/49/115 tahun 1994. Peringatan ini menjadi bentuk resolusi dalam upaya meningkatkan kesadaran manusia terhadap pentingnya keberlanjutan sumber daya di masa yang akan datang.

Mengulas kembali konsep Tragedi Kepemilikan Sumber Daya Bersama, bahwa kesadaran setiap aktor (pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta) merupakan indikator terpenting dalam mengatasi degradasi lahan dan kekeringan.

Ditinjau dari perspektif Ekonomi dan Kebijakan Publik, pemerintah berperan dalam membatasi aktivitas penggunaan sumber daya oleh manusia, seperti memperkuat regulasi, menetapkan pajak, memperketat sistem perizinan, dan aktif menyuarakan kepedulian lingkungan.

Halaman
12

Berita Terkini