WAWANCARA EKSKLUSIF

Budiman Sudjatmiko Bicara Soal Soeharto, Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo

Editor: Duanto AS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Politikus PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko saat di gedung Tribun Network, Jakarta, Selasa (15/8/2023). Dia menjelaskan alasan pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan perkembangan politik jelang Pemilu 2024.

TRIBUNJAMBI.COM -  Budiman Sudjatmiko sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan politikus.

Mantan aktivis 1998 yang menjadi politikus PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, menyampaikan tujuan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 adalah menyatukan tugas sejarah dan tugas negara.

Kondisi itu berbeda dengan tujuan dari Orde Baru ke era reformasi.

Budiman menceritakan aktivis 1998 diculik oleh tim Mawar pimpinan Danjen Kopassus kala itu, Prabowo Subianto.

"Bahwa kami bersama teman-teman (korban penculikan aktivis 1998) yang lain saat itu sedang menjalankan tugas sejarah. Sementara Pak Prabowo pada waktu itu bersama jenderal-jenderal yang lain menjaga tugas negara," tuturnya saat wawancara eksklusif di kantor Tribun Network, Jakarta, Selasa (15/8/2023).

"Waktu itu 25 tahun lalu tugas sejarah dan tugas negara nggak akur. Ini nggak boleh terjadi tugas sejarah dan tugas negara harus akur," sambungnya.

Menurut Budiman, ke depan sejarah yang akan menguji negara apakah negara dapat dilaksanakan tugas sejarah.

"Jadi itu saya bicarakan baik dari aspek ekonomi, aspek geo-ekonomi, aspek geo-politik, aspek geo-strategis. Saya berbicara 1 setengah jam waktu itu (bersama Pak Prabowo; red)," imbuhnya.

Berikut ini lanjutan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dengan Budiman Sudjatmiko.

Kemarin adik Pak Prabowo (Hashim Djojohadikusumo) memberikan tafsir bahwa Mas Budiman memberikan endorsement. Kalau menurut penjelasan Anda seperti apa?

Tafsir dari Pak Hashim itu memang apa yang didiskusikan kami bersama.

Memang kami tidak pernah berhadapan dengan Pak Prabowo yang dulu kami lawan kan Pak Soeharto, dan saat itu jenderalnya Pak Soeharto banyak, bukan hanya Pak Prabowo.

Kita sampai satu kesimpulan, setelah 25 tahun berhadapan, bahwa kami bersama teman-teman yang lain sedang menjalankan tugas sejarah.

Sementara Pak Prabowo pada waktu itu bersama jenderal-jenderal yang lain menjaga tugas negara.

Waktu itu, 25 tahun lalu, tugas sejarah dan tugas negara nggak akur.

Ini nggak boleh terjadi tugas sejarah dan tugas negara harus akur.

Karena nanti, ke depan, sejarah yang akan menguji negara gitu lho.

Apakah negara bisa melakukan atau nggak.

Jadi itu saya bicarakan baik dari aspek ekonomi, aspek geo-ekonomi, aspek geo-politik, aspek geo-strategis.

Saya berbicara 1,5 jam waktu itu disaksikan beberapa teman-teman, tim saya, dan beberapa media.

Sampai satu kesimpulan pasangan calon jangan dijadikan lawan elektoral, yang rugi bangsa Indonesia.

Sebagaimana saya yakin Pak Prabowo melihat.

Kami pun kekuatan elektoral yang akan rugi juga, bayangkan kalau dua calon debat, orang bingung apa yang didebatkan ya wong sama kok.

Nggak ada hal teknis, taktis. Debat itu kan bidang politis bukan strategis.

Itu nanti urusan kementerian, urusan mengangkat menteri siapa, pendekatannya seperti ini.

Bahkan bukan menteri, itu urusan dirjen dan direktur kementerian seperti apa.

Bukan di level perbedaan teknis dan taktis itu kemudian menentukan perbedaan presiden dan wakil presiden.

Menurut saya itu sama saja rumah terbakar tikus habis ke luar.

Karena siapa pun yang menang nanti, kemenangannya pasti akan tipis.

Ketika tingkat kepuasan pemerintah Jokowi yang approval ratenya 90 persen maka secara mental, kebatinan, dan psikologis ini akan sulit dipercaya.

Saya tidak mengatakan penerus Pak Jokowi ini harus 90 persen approval ratenya, almost impossible, tapi jangan terlalu jauh lah.

Saya pernah berbicara mantan Presiden Brasil di saat dia bisa mendapatkan 90 persen approval rate di periode kedua.

Saya ketemu beliau 2019 diteruskan oleh Dilma Rousseff menteri strategis pembangunan.

Menang si Dilma menggantikan Luiz Inacio Lula, dengan kemenangan tipis.

Di-endorsement oleh Pak Lula.

Yang setuju dengan Lula belum tentu semuanya memilih Dilma.

Dan di tengah jalan dia dimakzulkan.

Kemudian kekuasaan beralih ke tangan Jair Bolsonaro yang berbeda arah berpikirnya.

Hingga akhirnya Lula muncul lagi menjadi presiden Brasil.

Artinya ada periode berapa tahun yang hilang. Kita tidak mau momentum sia-sia.

Selama berapa tahun momentum hilang itu berarti tergerus. Tingkat kepuasannya berkurang dan terkuras.

Hasilnya dia harus mengulang lagi setelah pengalihan kekuasan ke Bolsonaro.

Indonesia masih belum solid, sama seperti Brasil sumber daya alamnya kaya tapi sumber daya manusianya pas-pasan.

Dampak multi partai liberal itu mudah sekali dipolarisasi.

Nah itu yang saya nggak ingin terjadi di Indonesia.

Melampaui pilpres tapi berkaitan dengan pilpres sama seperti

Anda berangkat dari Bandung ke Jakarta, Anda melampaui rest area lalu berhenti di situ lalu nyampenya kapan.

Kira-kira begitu.

Bisakah Mas Budiman mendeskripsikan calon presiden dalam satu kata?

Ya, oke.

Mas Anies: intelektual.

Mas Ganjar: populis.

Pak Prabowo: strategis.

Menurut saya, Mas Anies intellectual thinking menonjol, sedangkan Mas Ganjar populis, dan Pak Prabowo menonjol strategic thinking.

Ketika Pak Jokowi merangkul Pak Prabowo dan Pak Sandi masuk kabinet, buat Anda itu surprise atau bagaimana?

Surprise, karena setahu saya dalam sejarah demokrasi kita belum pernah terjadi.

Tetapi kemudian memaklumi mengingat polarisasi yang tumbuh dalam dua kali pilpres dan pilkada DKI sekaligus menghadapi pandemi Covid-19 yang luar biasa.

Kalau keinginan Mas Budiman dalam menyatukan tidak tercapai itu bagaimana?

Ya, nanti kita jangan berandai-andai dulu. Masih ada waktu.

Berarti optimis ya?

Harus optimis.

Saya dari tahun 1996 melawan Orde Baru, nekat dan bikin rusuh.

Tapi akhirnya nggak ada yang disomasi toh. Karena dulu kami melihat dalam pembangunan bahwa melawan Orde Baru adalah keharusan sejarah.

Itu tugas sejarah hari ini merangkul seluruh unsur bangsa Indonesia.

Dulu berlawan tugas sejarah sekarang berkawan tugas sejarah juga.

Kan nggak ada lawan abadi.

Dipersilakan, Mas Budiman memberikan closing statement mengenai tahun politik ini?

Pilpres dan Pemilu 2024 itu bukan yang biasa-biasa saja.

Setelah reformasi ada tiga pilpres yang menurut saya cukup menarik.

Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.

Pilpres 2014 menegaskan bahwa sebuah demokrasi itu berjalan dengan baik.

Pilpres 2019 menguji apakah kemenangan Pak Jokowi hanya sebuah keberuntungan sekaligus menunjukkan jalan sejarahnya.

Tapi, bila dilihat Pilpres 2024 juga dalam kancah dunia sedang bergolak karena sedang terjadi tiga ledakan besar yaitu ledakan virus, ledakan krisis pangan, dan ledakan disrupsi media sosial.

Ledakan besar ini hanya terjadi di awal abad ke-30, dan ledakan itu membuat kekuatan kolonialisme.

Tiga ledakan selalu mengeluarkan ide-ide cemerlang, Pilpres 2024 harus menjadi narasi yang futuristik tapi realistis. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Budiman Sudjatmiko Buka-bukaan Soal Pertemuan dengan Prabowo, Bahas Isu Penculikan 1998

Baca juga: Adian Napitupulu: Kenapa Lu Begitu Bud?

Berita Terkini